WCI | 26

19.8K 2K 154
                                    

Selamat pagi!!

Mau double up lagi?
Coba komen sebanyak-banyaknya!!
Votenya juga jangan lupa:>

Happy reading>•<

✨✨✨

"Manusia itu sudah diberikan porsi masing-masing oleh Allah. Baik itu rezeki, jodoh, keluarga, atau yang lainnya. Kita hanya perlu bersyukur dan menikmati semua pemberian-Nya."

✨✨✨

"Di mana Namira? Umi mau ketemu!"

Bentakan dari Adiba membuat Kafka dan Alan mematung di tempatnya. Bibir mereka tertutup rapat dan mata mereka fokus ke lantai. Seolah-olah, lantai adalah pemandangan paling indah di ruangan ini.

"Kafka! Alan! Umi bertanya sama kalian!" Adiba kembali membentak dua laki-laki di hadapannya.

"Adiba, tolong tenangkan dirimu dahulu. Ini ruang guru, bukan ruang privasimu," tegur Bu Dara sambil melepas kacamata yang bertengger di hidungnya.

"Kalau begitu carikan tempat privasi untuk kami," kata Adiba sambil menatap tajam Bu Dara. Emosinya sudah kembali menaik. "Lagipula masalah apa lagi ini? Waktu itu baju Namira yang di gunting, sekarang manusianya yang menghilang! Apa ini?!"

"Adiba!"

Adiba mengalihkan pandangannya saat kepala sekolah memanggil namanya. Adiba tidak mengenal kepala sekolah yang ini, karena sudah belasan tahun berlalu saat ia dan Irsyad berada di sekolah ini.

"Ada apa?" tanya Adiba tanpa rasa takut.

"Kenapa Anda membuat keributan seperti ini? Anda mengganggu ketenangan sekolah ini," ucap kepala sekolah.

Adiba mendelik tajam. "Kalau keamanan penjagaan sekolah ini bagus, tidak mungkin saya berbuat seperti ini." Adiba berjalan mendekati kepala sekolah. "Saya ingatkan, Namira Al-Hauraa Abrisam, harus ditemukan hari ini juga. Jika tidak, akibatnya akan fatal," kata Adiba dengan tatapan yang semakin tajam.

"Umi," panggil Kafka dengan nada memelas.

Adiba menatap Kafka dengan lembut. "Umi tidak akan menahan emosi Umi, Kafka. Murid-murid di sekolah ini sudah kelewatan!"

Kafka menyentuh lengan Alan. Mencoba untuk meminta bantuan. Namun, Alan menggelengkan kepalanya. Ia juga tidak berani dengan Adiba. Sebab, Lathifa juga sudah menceritakan masa SMA Adiba yang terkenal bar-bar.

"Tolong jangan memberi pendapat sesuka hati Anda tentang murid-murid di sini. Lagipula, ada masalah apa sampai-sampai Anda memberi peringatan kepada saya?" tanya kepala sekolah itu tanpa merasa bersalah.

Emosi Adiba semakin naik. "Wah! Kepala sekolah saja sampai tidak tau ada masalah apa terhadap muridnya, apa tidak ada yang melaporkan hal ini pada Anda? SEBERAPA SANTAINYA KALIAN DI SEKOLAH INI, HAH!"

"Sayang,"

Adiba mengerjabkan matanya sebentar. Mencoba untuk mengenali suara itu. Karena, di ruangan ini tidak mungkin ada yang berani memanggilnya dengan sebutan itu.

"Mas?"

"Tenanglah, kita cari Namira bersama, oke?" bujuk Irsyad.

Dirinya telah masuk ke dalam keramaian setelah Adiba memanggilnya. "Tidak bisa. Mas, suruh mereka untuk memanggil orang tua perempuan yang mengganggu Namira kemarin, adek ingin berbicara pada mereka," pinta Adiba.

Irsyad melongo. "Ingin bicara apa?"

"Ya bicara sesuatu. Antara wanita, para Ibu. Mas tidak akan mengerti. Suruh saja mereka memanggil orang tua perempuan itu, Mas!" rengek Adiba sambil memeluk lengan Irsyad.

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang