WCI | 33

20.4K 1.9K 31
                                    

"Besar kecilnya masalah, pasti akan dirasakan oleh semua umat. Mereka tidak memandang fisik, ekonomi, atau status sosialnya. Semua, pasti kedapatan masalah. Tinggal menunggu porsi masing-masing."

-WCI-

✨✨✨

Namira menghela napasnya sepanjang mungkin. Dua minggu yang telah ia lewati dengan kertas soal dan lembar jawaban membuat otaknya seperti mati rasa.

Ia memang memiliki suami yang pintar, tapi bukan berarti ia akan ketularan pintar. Karena pelajaran yang ia lewati dengan senyum mengembang kini membuatnya tersiksa dan tidak mampu menyerap semua yang Kafka ajarkan.

Jadi, selama ini dia hanya menjawab semampunya. Soal nilainya bagus atau enggak, ia pasrahkan pada Allah SWT. Semoga ia mendapat nilai diatas delapan puluh. Pas-pas-an juga enggak pa-pa.

"Capek?" tanya Kafka yang muncul dari arah dapur. Di tangannya ada toples yang berisi keripik pisang dan segelas air putih dingin.

Namira mengangguk lemah. "Pake banget!" jawabnya.

"Sini bersandar, ngumpulin energi," ujar Kafka dengan senyum manisnya.

Dan dengan senang hati, Namira menyenderkan kepalanya di bahu Kafka. Tangannya memeluk lengan lelaki itu dengan manja. Ruangan kelas yang jaraknya sangat jauh dengan Kafka membuatnya jarang bertemu dengan Kafka di sekolan.

"Buka mulut," pinta Kafka.

Namira membuka mulutnya. Mematuhi permintaan suami satu-satunya dan yang paling ia cintai. "Mas,"

"Hm?"

"Aku harus kuliah?" tanya Namira dengan alis berkerut.

"Terserah kamu. Kalau kamu mau kuliah, Mas tanggung. Kalau enggak, ya nggak Mas paksa."

Namira menutup matanya sebentar. "Aku kayaknya gak kuliah deh, Mas. Rumah lebih menarik daripada gedung besar itu."

"Yakin?" tanya Kafka sambil mengecup kening Namira sebentar.

Namira menegakkan tubuhnya. Ia duduk bersila di atas sofa. Tubuhnya ia arahkan sepenuhnya ke arah Kafka. Kemudian, Namira mengangguk berulang kali.

"Seratus persen! Yakin!" jawabnya.

"Kalau nanti ada yang deketin Mas di kampus?"

"Gak masalah. Kan udah ada hukumannya. Apalagi kalau Mas ngerespon perempuan itu, siap-siap aja. Hukumannya bertambah jadi dua. Uang di sita dan Mas gak boleh dekat sama aku."

Sebelum Kafka membalas ucapan Namira, mereka dikejutkan lebih dulu dengan suara ketukan pintu di depan.

"Mas buka dulu," ujar Kafka sambil beranjak dari duduknya.

Namira mengangguk dan meminum air putih yang Kafka bawa tadi. Namun, belum sempat dia puas dengan tegukannya, Kafka kembali masuk dengan napas memburu.

"Kenapa, Mas?" tanya Namira kepo. Matanya tidak lepas dari wajah Kafka yang sedang mengatur napasnya.

"Di depan ada teman-teman kamu," jawab Kafka cepat.

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang