WCI | 4

22.3K 2.3K 88
                                    

"Manusia tidak akan bisa memilih siapa jodohnya. Karena terkadang, ekspetasi itu jauh dari realita. Tidak semua yang kita harapkan akan menjadi kenyataan. Begitupun sebaliknya."

-WCI-


✨✨✨

"ADUH!! DUH!!"

Kafka lagi-lagi membuka matanya karena terkejut. Teriakan yang keluar dari bibir Namira membuat dirinya dilanda rasa khawatir.

"Kenapa lagi?" tanya Kafka bingung.

"Kayaknya kena paku. Tapi tau, deh!" Namira menundukkan tubuhnya tanpa melihat jarak kepala dengan meja guru yang mereka tunggu.

Tangan Kafka refleks terulur dan menahan kepala Namira agar tidak terantuk. Namira yang lebih merasakan sakit daripada baper langsung memundurkan kursinya dan kembali menunduk.

"Beneran kena paku! Ini Bu Dara ngapain masang paku di sini, sih?! Kan bahaya!" seru Namira dengan pipi yang menggembung.

Kafka sedikit mengalihkan pandangannya. Bagaimana pun juga, dia itu pria normal. Yang bisa melihat dan merasakan gelenyar aneh di dadanya. Perasaan semu yang membuatnya semakin menyukai gadis itu.

"Kafka kaki gue berdarah! Gue mau ke UKS, tapi ada cabe-cabean itu!"

"Terus gimana?" tanya Kafka yang masih setia menyenderkan punggungnya di kursi.

Namira menolehkan kepalanya. Menatap wajah Kafka dengan mata berkaca-kaca. "Ambilin P3K sama perban, Kafka!"

Kafka berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah UKS. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Memasang wajah datar saat para siswi kembali meneriakkan pujian-pujian yang berlebihan untuknya.

"Kafka, cari apa?" tanya Sofia. Siswi yang sedang berjaga di UKS.

"Kotak P3K sama perban," jawab Kafka.

Sofia langsung mengambil apa yang Kafka minta. Sepertinya, Sofia tipe gadis yang profesional. Buktinya, ia sama sekali tidak mengganggu Kafka walau ia menyukai pria itu. Sofia tidak jaim, tidak caper dan tidak bertingkah layaknya wanita lain yang mengidam-idamkan Kafka. Saat bertugas, Sofia memprioritaskan pekerjaan.

"Terimakasih,"

Kafka berlalu dari hadapan Sofia. Kakinya ia arahkan ke ruang bk, di mana Namira sedang mengaduh kesakitan karena rasa sakit yang tak kunjung mereda.

"Ke rumah sakit aja, ya?" tawar Kafka dengan wajah polos. Kotak yang tadi ada di tangannya sudah berpindah tempat menjadi di samping Namira.

Kafka duduk bersila di samping Namira yang sedang selonjoran. Menekan-nekan pinggiran lukanya yang mengeluarkan banyak darah.

"Gak mau! Gue gak suka bau rumah sakit!" rengek Namira. Air mata gadis ini mulai berjatuhan.

"Saya panggil Sofia dulu, luka kamu harus diobati secepatnya."

Saat Kafka ingin beranjak dari duduknya, Namira menarik kemeja baju Kafka. " Gue ikut, di sana aja ngobatinnya gak pa-pa. Lo ntar capek bolak-balik begitu," ujarnya.

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang