WCI | 11

20.2K 2.2K 146
                                    

Holaaa again>•<

Aku rencananya mau double up!
Tapi ada tantangannya,
Aku minta ke-antusias-an kalian lagi, boleh, ya?
Coba vote sama komen sebanyak-banyaknya!

Kalau itu bisa buat aku terhura, aku bakal up siang nanti. Tapi kalau syok biasa, aku bakal up malamnya.

Oh iya, yang mau masuk grup juga bisa liat di profil aku. Bagian bio paling bawah>•<

Happy reading>•<

✨✨✨

"Perasaan ini tidak mungkin kusampaikan langsung padamu. Karena saat ini, hanya Dia lah yang boleh mengetahuinya, sedangkan kamu nanti. Saat sudah halal."

-WCI-

✨✨✨

"Apa seminggu yang lalu kalian bertengkar?" tanya Bu Dara saat Kafka dan Gani sudah berdiri di hadapannya.

Melihat Gani hanya diam, Kafka mengangguk dan menatap Bu Dara. "Iya, Bu."

"Alasannya?"

Kafka diam. Bagaimana caranya memberitahu Bu Dara tentang permasalahan mereka? Apa ia harus menjelaskan bahwa mereka bertengkar karena Namira?

"Dia merebut pacar saya, Bu," ujar Gani dengan senyum sinisnya.

Kafka langsung menatap Gani tajam. "Namira bukan pacar kamu."

Gani berdecih. "Kalau bukan karena lo, kemarin gue sama dia udah pacaran!"

"DIAM!" Bu Dara berseru marah. Wajahnya sudah merah padam. "Kalian bentar lagi mau pisah, apa pantas jika kalian musuhan di tahun terakhir kalian bersekolah?"

Kafka dan Gani hanya diam.

"Minta maaf," titah Bu Dara.

Kafka mengulurkan tangannya di depan dada Gani. "Maaf," ujar Kafka.

Gani menerima uluran tangan Kafka. "Gue juga minta maaf," balasnya.

Kafka tersenyum dan mengangguk. Setelah dirasa cukup, keduanya bubar dari ruangan Bu Dara. Namun, aura keduanya langsung berubah. Kafka yang dingin dan Gani yang panas. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan.

"Kafka! Kafka!" seru seseorang.

Kafka membalikkan tubuhnya. Menatap seorang gadis yang tengah berlari sambil menyerukan namanya.

"Iya? Kenapa, Ghe?" tanyanya saat gadis itu berdiri di depannya.

Ghea, gadis yang menjabat sebagai sekretarisnya langsung mengatur napasnya. "Udah selesai proposalnya."

Kafka mengangguk dan berjalan ke ruang OSIS diikuti oleh Ghea di sampingnya. Tak lama, Kafka banyak mendengar pujian untuknya dan Ghea. Lalu membanding-bandingkan antara Ghea dengan Namira.

"Kalau gitu kan adem liatnya."

"Iya, daripada sama Namira yang bobrok, mending sama Ghea."

"Cocok banget sih, Ghe, Kaf!!"

"Nikah, dong!"

Kafka mencoba untuk mengabaikan seruan itu. Namun, dari arah lain, Namira sedang berjalan dengan mata yang bertabrakan langsung dengan Kafka. Namira menatap Kafka tanpa ekspresi.

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang