TWELVE. PRETTY

365 82 11
                                    

"Masih perih nggak?"

"Perih sumpah, udah gitu kaya panas banget pengen gue garuk."

"Ya itu efek salep nya lah," Jawab Jeongwoo yang sedang menata P3K di tempat semula.

"Ada bekasnya nggak sih entar?"

Jeongwoo duduk di depan Haruto, menggeleng kecil, "Nggak kayaknya. Soalnya nggak melepuh tadi, cuman merah aja."

"Oh,"

"Lo kenapa harus marah-marah kaya tadi sih?" Ujar Jeongwoo tiba-tiba, lantas membuat Haruto menautkan alisnya.

"Maksudnya?"

"Waktu lo ngomong ke Jania." Jelas nya. "Kan bisa lo ngomong aja baik-baik,"

"Gue kebawa emosi,"

"Ya maka dari itu. Lo kan Cowok, setidaknya atur emosi lo kalo ngomong ke Cewek. Apalagi sampe ngehina kaya tadi,"

Haruto menatap Jeongwoo dengan tatapan intimidasi. Kenapa Jeongwoo malah membela Jania? Disini kan bukan Haruto yang salah.

"Ya lo coba pikir deh, Wu. May nggak sengaja tapi dengan enaknya Jania nuduh kaya tadi. Gue cuman.."

Jeongwoo diam menunggu, cuman apa?

"Cuman nggak suka May dibentak?" Lanjut Jeongwoo menebak.

"Bukan gitu, Wu."

"Yaudah njir, cerita yang jelas dong."

Haruto mendecak, "Lo kaya gak tau aja Jania kalo disekolah ini kelakuan nya gimana. Dia itu selalu seenaknya, lo tau itu kan? Biar dia sadar diri Wu,"

"Ya iya gue tau. Cuman ya lo gak seharusnya kaya tadi, To. Coba lo intropeksi diri lo sendiri dulu," Jeongwoo mendesah pelan, ikut terbawa rasa kesal tapi mencoba sabar.

"Wu, kok lo nyudutin gue sih?"

"Astaga Enggak gitu sumpah." Jeongwoo menggaruk hidungnya, binggung harus ngomong dengan kata-kata seperti apa agar Haruto nggak salah paham.

"Lo sahabat gue. Ya gue tetep ngebela lo kok," Ralat Jeongwoo kemudian.

Haruto mendadak diam. Terlintas begitu saja di pikirannya atas apa yang udah dia lakukan tadi. Jeongwoo ada benarnya, dimana nggak seharusnya Haruto kasar pada Jania di depan umum. Kalau dipikir-pikir tentu saja Cewek itu pasti sangat malu.

"Apa gue keterlaluan?" Tanya Haruto setelah diam beberapa menit.

"Jujur gue akui, Iya."

"Mau gimana lagi. Gue beneran emosi tadi, nggak bisa mikir juga," Jujur Haruto mengacak rambutnya frustasi.

Jeongwoo mengangguk paham. Bagaimanapun dia juga harus coba mengerti perasaan Haruto. Dia hapal betul jika Haruto bukan tipikal orang yang mudah marah pada orang lain.

"Sekarang gini, coba lo bayangin gimana perasaan lo ketika dibentak dan dimarahin kaya tadi." Jeongwoo memejamkan matanya sejenak, serasa dia juga ikut terbawa suasana, "Dan apalagi lo sebagai Cowok yang disukai Jania. Coba lo pikir aja gimana rasanya,"

Haruto memalingkan wajahnya, merasa bersalah sekaligus binggung dengan dirinya sendiri.

"Gue rasa lo punya hati buat ngerasain itu bentar," Lanjut Jeongwoo.

Suasana di dalam ruang UKS itu terasa mulai berbeda ketika Haruto dan Jeongwoo saling beradu pandang beberapa saat. Entah kenapa mendadak keadaan di sekitar mereka jadi sedikit kurang nyaman.

Haruto juga bisa menyadari jika Jeongwoo nampak serius berbicara padanya. Sebelumnya, sahabatnya itu nggak pernah menasihati sampai sebegitu dalamnya hingga Haruto merasa terintimidasi.

Precociously √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang