3. Disappointed

29.3K 3.1K 395
                                    

Ruang rawat mewah itu semula tampak hening. Sampai ketika Jisoo yang baru saja bangun dari tidurnya mendapati banyak sekali keringat di wajah Jennie serta rautnya yang gelisah.

"Jennie-ya, bangunlah." Dengan rasa khawatir, Jisoo menggoyahkan bahu Jennie berharap adiknya itu segera membuka mata.

Dan beberapa detik kemudian, kedua mata Jennie terbuka secara mendadak. Lalu tangannya bergerak untuk memijat kepala yang tiba-tiba sakit.

"Unnie, bisakah kau hubungi Lisa atau Rosé?" tanya Jennie pelan. Membuat dahi Jisoo mengerut.

"Tapi disana sudah malam. Pasti akan sangat mengganggu." Jisoo memang benar. Kemungkinan besar kedua adiknya sudah terlelap karena sekarang sudah pukul 10 malam waktu London.

"Sebentar saja." Pinta Jennie dengan mata memerah. Membuat Jisoo tak tega dan akhirnya menuruti keinginan gadis berpipi mandu itu.

Jisoo mulai meraih ponselnya yang ada di meja nakas. Mendial nomor Rosé terlebih dahulu. Namun yang menjawab hanya operator. Dan kemudian, dia berganti mendial nomor Lisa. Hasil yang sama dia dapatkan. Membuat Jisoo menjadi heran. Karena kedua adiknya itu tak pernah mematikan ponsel ketika tidur. Ah, tidak. Lebih tepatnya Rosé. Karena akhir-akhir ini Lisa sering sekali mematikan ponselnya.

"Wae?" tanya Jennie melihat wajah lesu Jisoo.

"Tidak ada yang aktif." Jawab Jisoo membuat Jennie menghela napas gusar. Kepalanya terasa semakin berdenyut dan dia hanya bisa memejamkan mata.

"Kepalamu sakit?" tanya Jisoo panik. Bergerak untuk memijat pelipis Jennie tanpa ingin menanyakan perihal kegundahan Jennie mengenai adik mereka kini. Jisoo hanya tak mau menambah sakit di kepala adiknya itu.

........

Saat memasuki unit apartemen mewah itu, Lisa mendapati sang kakak terduduk di sofa dengan tangan bersedekap. Senyumnya perlahan muncul, ingin menyapa Rosé namun ketika mendapati apa yang ada di hadapan sang kakak, senyum Lisa meluntur.

Lisa menelan salivanya susah payah. Apalagi saat Rosé mulai menatapnya dengan tajam. Seolah akan menerkam Lisa hidup-hidup tanpa ampun. Lisa menjadi tidak paham, kenapa ketiga kakaknya selalu menjadi binatang buas saat sedang marah padanya?

"Apakah Unnie tidak berarti dalam hidupmu, Lisa?" tanya Rosé dingin, namun kini matanya berkaca-kaca. Membuat Lisa semakin gusar melihatnya.

"Unnie---"

"Unnie sudah bersusah payah menjagamu dengan hati-hati. Tapi kenapa kau tidak menghargainya?"

Lisa mengusap wajahnya kasar. Hanya karena vitaminnya tertinggal, Rosé semarah ini? Andai saja Lisa tak pernah menderita penyakit kanker, pasti semuanya tak akan berlebihan pada Lisa.

"Unnie, ini hanya masalah sepele." Ujar Lisa yang membuat hati Rosé semakin panas.

"Ini bukan hanya tentang vitamin bodoh ini." Rosé melempar sebotol vitamin milik Lisa ke sembarang arah. Bangkit berdiri seraya menatap Lisa semakin tajam.

"Kau pikir Unnie tidak tahu jika akhir-akhir ini kau mengabaikan dirimu sendiri?" tanya Rosé membuat Lisa tergagu. Gadis berponi itu memang terlalu terpaku pada semua kegiatannya hingga lupa jika dia harus menjaga kesehatan sebaik mungkin.

"Apa kau tau, Lisa-ya? Ketakutan itu masih terus hinggap di hatiku. Sekalipun kau sudah dinyatakan sangat sehat. Tapi kenapa kau tak mengerti, Lisa-ya?" Rosé mulai terisak, dan Lisa yang melihat itu langsung berjalan mendekati kakaknya untuk mendekap. Namun tanpa diduga, Rosé menghindar. Tak ingin di sentuh adiknya sedikitpun.

Hey, Lisa 2 ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang