10. Ignore

25.2K 3.1K 1.7K
                                    

Lagi-lagi Jennie harus menetap di rumah sakit sampai tengah malam. Membuat Ten memutuskan untuk mengunjungi sang kekasih sembari membawakan beberapa makanan. Karena pasti Jennie akan mengabaikan dirinya sendiri untuk mengurus orang lain.

Saat ini, Ten memaksa Jennie makan terlebih dahulu di dalam ruangannya.
Karena sejak tadi gadis itu selalu bersikeras untuk melanjutkan kewajiban yang sempat terhenti karena menyambut kedatangan Ten.

"Kau membelinya dimana? Ini enak," komentar Jennie pada makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Entah karena sudah jarang makan di luar atau dia memang lapar, makanan itu sangatlah enak.

"Cafe milik Junhoe." Jawab Ten membuat Jennie mengangguk paham. Dia sudah pernah satu kali ke cafe itu, dan makanannya sangat enak karena ibu Junhoe yang memasaknya langsung.

Jennie mulai terfokus pada makananya. Dan Ten hanya memperhatikan betapa lahapnya gadis itu. Padahal, tadi Jennie sangat bersikeras menolak makanan yang dia bawa.

Hingga akhirnya Ten ingat jika kedatangannya menemui Jennie tengah malam seperti ini tak hanya untuk mengantarkan makan malam pada kekasihnya itu. Namun ada hal yang ingin dia sampaikan karena sedari tadi terus mengganjal di pikirannya.

"Sore tadi Lisa menghubungiku. Dia bilang kau sulit dihubungi, dan tak pernah membalas pesannya atau menelponnya." Ucapan Ten itu membuat Jennie berhenti untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Mulai meletakkan sumpit yang dia genggam karena mendadak selera makannya hilang.

"Apakah kau begitu sibuk hingga tak pernah menghubunginya, Jennie-ya? Kau tau? Dia sangat kebingungan," beritahu Ten mengingat percakapannya bersama Lisa melalui telepon tadi. Dia dapat mendengar dengan jelas ada nada kecewa pada suara Lisa.

"Setelah makan, aku akan menelponnya." Ucap Jennie akhirnya.

"Apa sekarang Lisa sudah tak penting bagimu? Kau bahkan bisa mengabaikannya dengan mudah." Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Ten, mendadak Jennie menjadi emosi. Dia sedang lelah, dan sifat dasarnya memang pemarah. Sampai wajahnya berangsur memerah karena tak terima dengan berkataan kekasihnya.

"Kau tahu seberapa penting Lisa bagiku!" Sentak Jennie tak suka, mengundang tawa hambar milik Ten.

"Tapi kenyataannya bisa kau lihat sekarang, kan? Membalas pesannya hanya dengan satu kalimat saja kau tak bisa." Ujar Ten yang ikut tersulut emosi.

"Apa yang kau kejar sebenarnya, Jennie-ya? Popularitas sebagai Dokter yang baik? Tapi kau tega menelantarkan adikmu sendiri."

"Jaga bicaramu, Ten. Aku hanya melakukan tugas---"

"Kau ingat saat pertama kali kita bertemu? Kau bilang, kau tak akan melepaskannya. Tapi sekarang, kau melakukan itu tanpa kau sadari." Gertak Ten yang mampu membuat mulut Jennie bungkam. Merasa sudah kehilangan semua kalimat untuk membela dirinya sendiri.

"Apakah kepintaranmu itu kini membuatmu menjadi kurang waras? Ku harap, kau tidak melangkah lebih jauh lagi. Kau memang kekasihku, tapi aku tak mau adikku terluka karenamu." Ucap Ten dingin, lalu meninggalkan ruang kerja Jennie dengan amarah masih menyelimuti perasaannya.

........

Rosé merasa saat ini kepalanya hampir meledak setelah menyelesaikan tugas bersama teman-temannya. Gadis itu ingin sekali merendam diri di air dingin agar semua beban di kepalanya terangkat.

Dia sungguh menggerutu pada takdir yang memberikan Lisa otak genius. Andai saja mereka setara, Rosé tak akan sepusing ini. Dia masih bisa menikmati masa kuliahnya, bukan setiap hari harus berdampingan dengan materi dan buku-buku tebal.

Memasuki apartemennya, Rosé terkejut mendapati Lisa yang tertidur dengan posisi duduk di sofa ruang televisi. Setelah melepas sepatunya, dia segera menghampiri adiknya. Terkejut sekali lagi karena sang adik belum berganti pakaian sedari pulang ke apartemen.

Hey, Lisa 2 ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang