Lisa dan Rosé sampai di apartemen dengan wajah lelah. Berjalan-jalan dari pagi hingga sore memang cukup menyenangkan untuk mereka. Namun tak dapat dipungkiri jika rasa lelah pasti hinggap di tubuh mereka.
"Kau mandi saja di kamar mandi dalam. Biar aku yang di luar." Ujar Rosé lalu pergi dari kamar mereka setelah meraih handuknya.
Lisa pun mengikuti perintah kakaknya. Dia mulai meraih handuk miliknya dan memasuki kamar mandi di kamar itu. Perlaham melepas kemeja panjang yang sudah membalut tubuhnya sedari pagi.
Namun hal tak terduga Lisa temukan. Dia kembali mengingat bagaimana posisi jatuhnya dari sepeda tadi. Dan memastikan apakah lengan atasnya sempat terbentur atau tidak. Karena disana kini sudah tercetak memar yang cukup jelas.
"Jika Unnie melihat ini, dia pasti akan lebih cerewet daripada tadi siang." Gumam Lisa mengusap memar di lengan atasnya. Kali ini dia benar-benar bersyukur karena Rosé hanya menemukan memar di lututnya.
"Ah, kenapa aku merasa payah sekali. Lain kali aku harus memaksa siapa pun mengajariku sepeda." Gerutu Lisa kemudian melanjutkan aksi melucuti pakaiannya sendiri.
Tapi tak lama, Lisa kembali terdiam. Dia tiba-tiba teringat dengan Jiyong. Dulu, ayahnya bilang akan mengajarinya sepeda. Namun karena mereka kini sudah berbeda benua, hal itu tak kunjung Jiyong lakukan. Padahal, pasti akan sangat menyenangkan jika Jiyong benar-benar mengajarinya untuk mengendarai sepeda dengan benar.
"Geure. Saat Appa kesini nanti, aku harus menagih ucapannya." Ujar Lisa mengangguk mantap. Memandang kagum pantulan dirinya dari kaca wastafel.
"Kau memang selalu genius, Lisa-ya. Aku bangga padamu," Lisa mengusap pantulan dirinya dengan gemas. Jika ada yang melihatnya seperti itu, dapat dipastikan dia akan dianggap kurang waras.
.......
Ini sudah pukul sepuluh malam. Tapi Jennie masih harus tinggal di rumah sakit karena pasiennya sempat kambuh. Seperti biasa, pasien itu tak mau ditangani oleh siapapun kecuali Jennie.
"Apakah aku akan mati, Dokter?" lirih gadis itu membuat tangan Jennie yang baru saja meraih sebuah suntikan, mendadak terasa kaku.
"Yeri-ah, kau ini bicara apa." Yang menanggapi gadis itu adalah ibunya. Karena Jennie saat ini tak bisa merangkai kata dengan baik.
"Aku akan mati, Eomma. Aku takut," gadis itu mulai menangis, membuat Jennie harus menghela napas dan memilih menyuntikkan obat di lengan gadis itu.
"Semuanya akan baik-baik saja. Kita tidak tahu bagaimana jalannya takdir, Yeri-ah." Ujar Jennie sembari mengusap surai hitam milik Yeri.
Dengan tangan lemahnya, gadis itu meraih tangan Jennie yang masih berada di atas kepalanya. Menggengam tangan itu erat, serta menatap mata Jennie penuh harap.
"Bolehkah, aku menganggapmu sebagai kakakku?"Jennie terdiam sejenak. Mendengar pertanyaan Yeri itu, dia jadi teringat oleh kedua adiknya yang kini sudah hidup terlalu jauh darinya. Maka, gadis itu mengangguk saja. Tidak buruk mengaggap orang lain sebagai adiknya. Dia bisa menyalurkan kasih sayang yang tak bisa dia berikan secara langsung pada Lisa maupun Rosé untuk Yeri.
"Tentu. Panggil aku Unnie mulai sekarang, eoh?"
Yeri tersenyum sangat lebar. Memeluk perut Jennie dengan erat. Begitupun dengan kedua orangtua Yeri. Mereka sangat bahagia karena Jennie kini menjadi salah satu alasan Yeri untuk bahagia. Dan mulai saat itu, mereka sangat berharap pada Jennie untuk selalu ada di sisi anak mereka apapun yang terjadi.
.......
Lisa dan Rosé saling tatap. Lalu kembali memandang layar ponsel yang kini menampakkan wajah Dara. Ibu mereka itu kini sedang menangis terisak karena terlalu rindu dengan mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Lisa 2 ✔ [TERBIT]
FanfictionPART 41 - 55 DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN Menjadi bagian dari Kwon, adalah hal teristimewa untuk Lisa. Tangis, canda, tawa. Semuanya dia lewati bersama keluarga itu. Kebahagiaan yang keluarganya itu berikan tak akan pernah terlupakan oleh Lis...