30. Lies

27.2K 2.9K 448
                                    

Udara akhir-akhir ini dingin. Terlebih ketika dini hari. Namun Lisa terus saja berkeringat dengan tubuh terus menggeliat kesakitan. Padahal, gadis itu sudah berusaha menahannya sekuat mungkin untuk tidak terlihat lemah.

"Ingin Unnie nyanyikan sesuatu agar Lisa tertidur?" Rosé bertanya, dengan suara bergetar menahan tangis. Lagi-lagi, dia harus merasa lemah karena melihat ketidak berdayaan adiknya.

Di dalam ruangan itu, tak ada sama sekali yang tertidur. Sedari tadi, mereka terus menemani Lisa yang tak pernah terlihat tenang. Gadis itu selalu meringis, padahal kenyataannya Lisa sudah berusaha agar ringisan itu tak terdengar.

"Genggam... Aku," lirih Lisa di tengah rasa sakitnya. Dan tangan Rosé yang semula terus mengusap dada atas Lisa, kini bergerak mulai menggenggam tangan dingin milik adiknya.

"Seperti ini, hm? Lisa merasakannya kan?" ketika melihat kepala Lisa mengangguk pelan, air mata Rosé berhasil luruh. Dia menggigit bibir bawahnya agar Lisa tak mendengar tangisnya.

"Jennie-ya, sebenarnya adikmu kenapa?" tanya Dara gusar pada anak keduanya yang terus menatap Lisa dalam diam. Pancaran mata Jennie tampak sekali jika dia sedang memikirkan hal berat.

"Kita akan melakukan pemeriksaan besok, Eomma. Aku harap... Tidak ada hal yang buruk."

Sesungguhnya, Jennie sangat lelah. Setiap kali harus menerima berita buruk mengenai kondisi kesehatan adiknya. Ingin satu kali saja, setidaknya Jennie tak mendapat fakta buruk lagi. Karena saat ini perasaannya sudah tak berbentuk. Jika kembali menerima hal buruk, entah akan seperti apa Jennie menghadapinya nanti.

Jam tiga dini hari itu, waktu berjalan seakan amat lambat. Kesakitan Lisa tak kunjung pergi, kekhawatiran terus memeluk. Seperti tak ingin membuat semua orang bernapas lega.

........

Setelah melakukan pemeriksaan pada paru-parunya, Lisa tak kunjung bisa tertidur di ruang rawat itu. Padahal malam tadi dia sama sekali belum memejamkan mata sejak rasa sesak menghampirinya.

Andai saja rasa sakit itu tak kembali menyerangnya, mungkin sekarang Lisa sudah ada dalam perjalanan pulang. Lagi-lagi, penyakit itu membuat Lisa harus tertahan di rumah sakit ini untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.

"Apa dadamu masih sangat sesak?" tanya Rosé hendak mengusap dada atas Lisa, namun tangan kurus itu menahannya.

"Aniya. Aku sudah baik-baik saja, Unnie."

Rosé terdiam. Memandangi wajah Lisa yang kini setengahnya tertutupi oleh masker oksigen. Apakah adiknya itu sedang bergurau? Bahkan dengan sangat jelas jika keadaannya jauh dari kata baik.

"Seberapa banyak lagi kau ingin membohongiku?" tanya Rosé yang tiba-tiba merubah raut wajahnya menjadi dingin.

"Apa maksudmu, Unnie? Aku tidak pernah berbohong," ujar Lisa yang sebenarnya tak mengerti arah pembicaraan kakaknya.

"Kau selalu berkata baik-baik saja. Bahkan, saat di London kau tak pernah mengatakan yang sebenarnya. Seberapa jauh lagi kau ingin membuat aku menjadi kakak yang buruk, Lisa-ya?" Lisa tertegun, kala melihat kedua mata Rosé memerah. Bahkan kini mulai menjatuhkan air mata, yang lagi-lagi karenanya.

"Unnie---"

"Berapa banyak rahasia yang kau sembunyikan, Lisa-ya? Bukankah saat di London... Kau terlalu sering mengelabuhiku?"

Lisa tergagu. Dia tak tahu harus menjawab apa karena ucapan kakaknya benar. Entah tahu dari mana, tebakan Rosé sangatlah tepat sasaran. Saat di London dulu, begitu banyak rasa sakit yang Lisa sembunyikan dari kakaknya itu.

Hey, Lisa 2 ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang