Sedari kecil, dunia membentuknya menjadi gadis dengan beribu masalah hidup. Tapi satu yang tak pernah bisa Lisa hindari. Yaitu keputus asaan. Dia benar-benar lemah ketika merasa sudah di ambang batas.
Ingin marah. Namun pada siapa? Disini tak ada yang salah satu orang pun. Hanya takdir yang terus saja menghujaminya dengan ujian. Yang perlahan mengikis harapan Lisa di masa depan.
Dua tahun adalah waktu yang diberikan oleh takdir untuk Lisa hidup bebas. Namun satu pun tak ada yang bisa dia banggakan. Lisa terlalu terhanyut dengan kebaikan Tuhan, tanpa tahu jika hal buruk sedang mengincar. Tanpa ingat jika roda kehidupan terus berputar. Berada di bawah, kemudian di atas, hingga kembali turun ke bawah.
"Kau... Hidup dengan baik kan?" itu adalah pertanyaan yang Eunha layangkan padanya saat Lisa berkunjung ke hotel tempat gadis itu menginap. Karena Lisa sempat menanyakan perihal mimpi yang di alami Eunha hingga membuatnya terbang ke London hanya untuk meminta maaf.
"Aku... Bermimpi kau sedang sekarat, Lalice. Itu sangat mengerikan, hingga aku tak bisa menghilangkan bayang-bayangnya."
Saat itu Lisa hanya meresponnya dengan tawa ringan. Menenangkan Eunha jika mimpi hanyalah bunga tidur. Tapi Eunha terus bersikeras, jika mimpi itu tampak sangat nyata. Bahkan terus menghantui Eunha.
"Kau bilang, kau kesakitan. Kau bilang, kau tidak sanggup lagi. Itu sangat nyata, Lalice." Tekan Eunha yang mampu membuat Lisa terdiam. Mendadak, perasaan gadis itu bergemuruh. Namun dengan keras dia berusaha mengabaikannya. Kembali memberi pengertian pada Eunha jika hal buruk itu tak akan terjadi.
Tapi setelah seperti ini, Lisa ingin mengelak bagaimana lagi? Semuanya benar-bemar nyata. Mimpi Eunha bukanlah omong kosong, dan seharusnya Lisa tak menganggap remeh semua rasa sakitnya selama ini. Yang ternyata sudah terlalu jauh merusak tubuhnya.
Dalam posisi setengah berbaring itu, Lisa mengusap rambutnya kasar. Merasa benar-benar frustasi dengan kenyataan yang harus ia terima. Penyakit itu kembali, namun kini membawa teman. Yang tentu membuat Lisa harus lebih keras berjuang dibandingkan beberapa tahun lalu.
Beberapa jam lalu dia memang sudah tersadar. Dan setelah mendengar penjelasan dari Jiyong mengenai kondisinya saat ini, Lisa mengusir seluruh keluarganya dari ruang rawat itu. Dia sungguh ingin sendiri untuk sejenak. Menata hati yang benar-benar hancur karena pukulan takdir.
"Lisa-ya," suara itu membuat Lisa menegang di tempatnya. Suara yang sangat dia rindukan, tapi kenapa harus muncul di saat dia sudah sekacau ini?
"Pergilah, Unnie. Jangan mendekat." Ujar Lisa dingin. Tanpa mau menatap Jennie sedikit pun, walau kenyataannya dia sangat ingin berada dalam dekapan gadis berpipi mandu itu.
"Tapi, Lisa-ya. Unnie---"
"Jika aku tidak sakit, kau tidak akan menemuiku kan?" lirih Lisa seraya menunduk. Mengusap kasar air mata yang sudah membanjiri wajahnya.
"Kenapa aku harus seperti ini dulu untuk mendapatkan perhatianmu, Unnie? Apa kau hanya kasihan padaku? Apa rasa sayangmu itu palsu?"
Jennie menggeleng kuat. Dia tidak seperti itu, dan adiknya salah mengira. Dia sangat menyayangi Lisa, sama sekali tak merasa kasihan. Maka dari itu, Jennie mulai melangkah mendekati Lisa untuk membuat adiknya itu mengerti. Namun Lisa justru terus mengusirnya, bahkan sampai berteriak.
"Pergi, Unnie. Sudah kubilang jangan mendekat!"
Jennie membekap mulutnya kuat-kuat. Menahan isakan yang terus mendesak keluar. Dia tidak percaya jika semuanya akan kacau seperti ini. Rasanya gadis berpipi mandu itu benar-benar sudah menjadi manusia paling bodoh di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Lisa 2 ✔ [TERBIT]
FanfictionPART 41 - 55 DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN Menjadi bagian dari Kwon, adalah hal teristimewa untuk Lisa. Tangis, canda, tawa. Semuanya dia lewati bersama keluarga itu. Kebahagiaan yang keluarganya itu berikan tak akan pernah terlupakan oleh Lis...