25-🌝Cloudy🌚

218 24 0
                                    

"Kamu abis belanja diluar Bee?" Nadine berkacak pinggang didepan Rabee.

"Engga kok. Mana ada keluar dari hotel." Rabee memasang sepatunya bersiap turun ke lobi untuk check out.

"Bohong. Itu buktinya kamu beli kalung. Jahat." Nadine mengangkat sudut bibirnya menghakimi.

"Bukan, Nad. Ini tuh..." Rabee menyentuh kalungnya.

"Aaaaawwww, jangan-jangan kamu dilamar Kangmas Bee pake kalung ini? Duh serius aku ga mikir kesana. Sosweet." Nadine mengerjap-ngerjapkan matanya melihat kalung bermahkota itu.

"Bukaaaaaan. Ini cuma ucapan selamat telah bekerja untuk perusahaan Loey Group." Ucap Rabee tak semangat.

"Eh? Apa maksudnya?" Nadine kepo.

"Pak Anugrah bilang ini hadiah kelulusan magang." Rabee telah selesai memasang sepatunya.

"Bohong." Nadine menyipitkan matanya.

"Aku ga bohong." Rabee menatap Nadine mulai sebal.

"Bukan kamu yang bohong, tapi Kangmas. Mana ada kalung sebagai hadiah kelulusan magang, kalau bener kayak gitu seharusnya aku juga dapet kalung, juga dapet makan malam bareng." Nadine mendumel.

Benar juga kata Nadine, kemungkinan besar kalung ini memilili makna lain. Tapi Rabee dengah cepat mengusir imajinasinya yang terlalu berharap. Dia takut menyakiti diri sendiri kalau tahu isi hati Anugrah sebenarnya, bagaimana kalau benar ini hanyalah sebatas hadiah? Ah sudahlah. Didalam mobil Rabee hanya mendengarkan musik melalui earphonenya.

"Just say you won't let go~" Rabee bergumam kecil mengikuti irama.

Nadine sedang asyik bermain dengan ponselnya disana. Pak Hari sudah terlelap dibangku depan. Rabee melirik mobil yang berjalan beriringan dengan mobilnya. Terpantul wajah Anugrah yang fokus menatap layar laptopnya dikursi belakang disebelah Edward yang menatap layar ponsel dengan raut sumringah. Rabee tersenyum singkat sebelum dia memutuskan untuk ikut tidur dalam perjalanan pulang.

"Bee aku tidur di apartemen kamu ya? Nanggung pulang ga ada orang dirumah. Nyonya besar berlibur kerumahnya satu lagi." Nadine mengucek-ngucek matanya sambil menatap Rabee memohon.

Rabee mengangguk masih belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Saat sampai di area apartemen Rabee, mereka berdua pun turun. Nadine melihat sebuah mobil yang familiar dimatanya dan dua orang lelaki berpakaian rapi berdiri disana. Nadine hanya mengerutkan keningnya bingung. Perasaannya tidak enak.

"Bee, itu ... Itu kakek kamu?" Nadine menepuk bahu Rabee yang berjalan didepannya malas.

Rabee memandang kedepan dan menemukan seorang lelaki yang sangat sudah berumur berdiri dengan tongkat saktinya. Rambutnya sudah bewarna putih seutuhnya. Rabee mempercepat langkahnya menuju sang Kakek berdiri.

"Kek, kenapa tidak masuk saja? Kakek kan sudah tahu passwordnya. Dingin diluar." Rabee menggandeng Kakeknya kearah pintu masuk kemudian membukakan pintu apartemen dengan was-was.

"Badan kamu mengecil. Apakah kamu hidup susah disini? Kemba ..." Si Kakek berhenti bicara saat Rabee memeluknya sayang.

"Bukan Rabee yang mengecil, Kakek yang sepertinya membesar." Rabee tersenyum.

"Kakek benci melihat kamu susah. Bukannya sudah hak Kakek memastikan hidup cucunya agar baik-baik saja, bukan?" Kakek Rabee mendudukkan diri disofa.

"Rabee sangat baik-baik saja Kek." Rabee menyerahkan segelas air putih hangat ketangan Kakeknya.

Nadine berdehem memperlihatkan sosoknya yang masih berdiri diam didepan pintu masuk, ingin menyadarkan Kakek Rabee dengan keberadaannya saat ini.

"Wah, look. Nadine putri anakku Aubell." Akhirnya sang kakek menyadari keberadaan sunyi Nadine. Nadine memeluk Kakek Rabee akrab.

"Kakek dengar kamu sudah dijodohkan dengan putra keluarga Syarif, benar itu Nadine?" Kakek Rabee membuka topik hangat malam itu. Nadine hanya meng-eee- dengan tampang tak terbaca.

"Kakek dengar dari Syarif sendiri. Sepertinya kalian cocok bersama. Kakek mendukung kamu." Kakek Rabee membuat tanda jempol didepan wajahnya sok imut.
Rabee memandang Nadine dengan gelagat ingin segera mencieee kan sebelum Nadine tertawa lesu. Rabee meliriknya cepat. Merasa ada yang aneh dengan sikap Nadine.

"Kakek dengar kalian sebentar lagi akan selesai magang. Berarti wisuda juga sudah didepan mata." Sorot serius mulai terpancar diwajah sang Kakek. Rabee mulai merasa cemas.

"Iya Kek. Beberapa hari lagi." Rabee beralih duduk disamping Kakeknya.

"Kamu masih ingat pembicaraan kita saat itu?" Kakek Rabee menatapnya serius. Rabee mengangguk sangat ingat apa pembicaraan mereka kala itu.

"Kakek harap bisa melihat kamu dengan orang yang kamu sayangi sewaktu wisuda nanti. Tapi, jika tidak ada, jangan khawatir." Sorot matanya mulai terlihat lembut.

"Benarkah Rabee tidak perlu mengkhawatirkan itu, Kek?" Rabee mencoba mencari kepastian.

"Ya, tentu saja. Jika kamu tidak memilikinya, Kakek sudah menyediakannya yang terbaik untuk cucu Kakek." Kakek Rabee memeluk Rabee lembut. Jantung Rabee berdetak kencang, akhirnya dia tahu apa maksud Kakeknya yang sesungguhnya.

"Tidak bisakah Rabee memilih sendiri siapa yang Rabee inginkan disisi Rabee Kek?" Rabee mencari manik mata Kakeknya.

"Kamu tahu Kakek seperti apa bukan. Jangan khawatir sayang, dia orang yang baik untuk kamu. Raqi juga menyinggung hal ini." Kakek Rabee mulai berdiri kearah jendela.

Rabee mengepalkan tangannya menahan kesal. Ternyata Raqilah biang semua ini. Mungkin dia juga yang mengingatkan Kakek tentang pembicaraan tiga tahun yang lalu.

"Jangan mau kalah sama Nadine. Kalian seharusnya menikah dalam waktu yang sama." Kakek Rabee tertawa memamerkan giginya yang sudah banyak yang hilang.

"Nadine berharap begitu Kek. Tapi, hm entahlah." Nadine mengangkat bahunya berat. Seolah ada satu masalah baru yang menghampirinya.

***

Hampir satu jam Kakek Rabee berkunjung, mereka membahas semua masalah masa depan mereka berdua. Rabee sesekali hanya mengangguk mengiyakan perkataan Kakeknya tanpa semangat. Pikirannya tidak berada ditempat saat ini. Setelah kepergian Sang Kakek Rabee mendekat ke arah Nadine.

"Ada apa? Kamu terlihat murung." Rabee menghampiri Nadine yang memeluk lututnya diatas sofa.

"Edward bilang kalau dia sudah dijodohkan." Nadine memasang wajah sedih. Matanya berkaca-kaca ingin menangis.

Rabee menghela nafasnya berat, tidak hanya dirinya yang dilema saat ini, tapi sahabatnya pun juga dirundung masalah.

"Bee, apakah semua akan baik-baik aja?" Nadine menatap langit-langit kamar Rabee kosong.

"Semuanya akan baik-baik saja. Jika niat kita baik pasti ada solusinya." Rabee menepuk-nepuk pundak Nadine menenangkan.

Menenangkan orang lain disaat kita juga butuh ditenangkan. Itu tidak mudah.

***
Rabee tak bisa tidur. Padahal matanya sudah hampir tertutup tapi pikirannya masih terjaga.

Ponselnya kembali berdering, Rabee menimbang-nimbang apakah dia harus menjawab panggilan masuk itu atau tidak.

" Halo, Ma?" Akhirnya diangkat juga.
"...."
"Rabee tidak tahu harus bagaimana Ma. Bagaimana solusi terbaik agar hati Kakek mau luluh? Rabee tidak ingin dijodohkan dengan orang yang tidak Rabee cintai." Suara Rabee mulai serak. Bulir air mata yang sudah ditahannya sedari tadi akhirnya tumpah saat Sang Ibu menelfonnya.

"......"

"Hm, Rabee masih belum yakin sebenarnya Ma, tapi Rabee nyaman berada didekatnya." Rabee membicarakan seseorang.

Pundaknya ditepuk-tepuk lembut dari belakang. Rabee berbalik dan menemukan Nadine yang juga membengkak matanya. Sepertinya Nadine juga menangis dibawah selimutnya. Oh betapa galaunya kami saat ini.

Will be continued ...



PRESIDENT'S MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang