17-🌝Dor!🌚

274 29 0
                                    

"Rabee kamu dipanggil Pak Hari." Dian menghampiri meja Rabee dan memberitahunya untuk datang ke meja DPLnya.

"Kasian. Sebentar lagi bakal dikeluarin dari magang. Dasar ga tau malu. Siapa suruh lawan Evilla." Vani menertawakan Rabee. Rabee tak menggubris itu. Ia dengan jiwa yang sudah siap menerima konsekuensinya berjalan dengan tegap menuju meja Pak Hari.

"Permisi Pak. Bapak manggil saya?" Rabee berdiri didepan meja Pak Hari dengan jantung dagdigdug.

"Silahkan duduk dulu. Sekatang kamu boleh beristirahat sebentar." Pak Hari menatap Rabee serius.

"Maksudnya bagaimana Pak? Istirahat ini maksud Bapak saya dikeluarkan dari program magang disini?" Rabee menghela nafasnya panjang.

"Bukan. Sebentar lagi kamu dan saya akan kerumah sakit. Kita akan menjenguk Evilla, sekalian kamu meminta maaf padanya." Pak Hari menumpuk berkas-berkas diatas mejanya lemah.

"Kamu tahu apa akibat yang kamu lakukan bukan?" Pak Hari bertanya lagi.

"Iya Pak." Rabee mengangguk cepat.

"Nanti saya akan berbicara dengan Evilla, yang kamu lakukan hanya meminta maaf saja." Pak Hari mulai berdiri dari kursinya. Dipintu keluar perusahaan terlihat Nadine juga sedang menunggu.

"Kita keknya dipaksa minta maaf sama itu mak lampir deh Bee. Kesel." Nadine cemberut saat melihat Rabee berjalan dibelakang Pak Hari.

Rabee hanya menepuk pundak Nadine lembut. Diatas mobil Nadine masih mendumel tentang Evilla. Rabee lagi-lagi hanya menghela nafasnya kasar.

"Haaa, Bee ini aku lupa. Duh." Nadine tiba-tiba berteriak kearah Rabee yang membuat gadis yang sedang melamun itu terperanjat. Pak Hari yang duduk dikursi depanpun ikut terkejut akan suara Nadine. Rabee menoleh kearah Nadine cepat.

"Aku denger dari Sella dan staf lainnya kalau Evilla itu tunangannya Kangmas." Nadine berbisik dan membuat wajah sedih.

"Aku sudah tahu, Nad." Balas Rabee tak bersemangat.

"Hah? Kamu udah tahu? Sejak kapan? Kok ga ngasih tau aku sih Bee. Iihhh." Nadine merajuk.

"Baru tahu pas insiden tadi. Yaudah lah. Ga usah dipikirin." Ucap Rabee sambil melempar pandangannya keluar dari mobil.

"Seharusnya yang bilang gitu aku, Bee. Kamu sok-sok an bilang ga usah pikirin, eh sekarang aja pasti mikirin itu kan? Cih." Nadine mendecih kearah sahabatnya itu. Rabee tak menjawab, dia hanyut dalam pikirannya saat ini.

Tak terasa mobil mereka telah sampai diarea parkir rumah sakit. Nadine dan Rabee bertukar pandang saat tahu Evilla dirawat dirumah sakit Sevim.

"Wah, ibarat ketemu semua musuh nih. Berat berat." Nadine mengusap-ngusap dadanya sok drama.

"Kita akan menuju ruangan VVIP, kalian berdua ikuti saya." Pak Hari memimpin langkah. Rabee dan Nadine hanya mengangguk lemah.

***

"Tuntut saja dia Kak, berani sekali intern bersikap seperti itu pada Kakak." Suara seseorang terdengar dari luar ruangan. Nadine menelengkan kepalanya melihat kearah Rabee. Mereka sedikit lagi sampai dikamar Evilla dirawat.

"Suaranya kok familiar." Ucap Nadine dengan raut wajah serius. Pak hari lebih dulu membuka gagang pintu kamar dan masuk keruangan itu.

"Kenapa Bapak sendiri saja? Mana perempuan-perempuan tidak tahu malu itu?" Suara Evilla terdengar membentak Pak Hari. Rabee dan Nadine mengepalkan tangannya keras.

"Bapak ga denger apa yang kakak saya bilang? Bapak mau ngelindungin preman? Pecat aja Kak. Pecat." Suara perempuan lain juga menyahut.

Nadine menghela nafasnya kasar, dia menggigit bibirnya sudah tak sabar ingin masuk keruangan itu, tapi Rabee menahannya.

PRESIDENT'S MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang