32-🌝Abducted🌚

176 25 0
                                    

"Nad, Nad, Nadine, bangun. Kamu baik-baik aja?" Suara Haikal menggema diruang ganti apartemen Rabee.

Nadine mulai membuka matanya pelan, kemudian mencoba bangun untuk mencerna apa yang sudah terjadi.

"Kenapa malem-malem begini pintu apartemen kebuka? Trus kenapa kamu tiduran dilantai sambil nyobain toga?" Haikal menaikkan sebelah alisnya heran. Dia masih belum connect dengan suasana aneh ini.

"Kak Haikal bilang apa? Pintu kebuka? Bagaimana dengan Rabee?" Nadine mulai merasa ada yang aneh.

"Iya, kebuka. Rencana mau ngasih ini buat Rabee, makanya dateng setelah sholat Isya. Takut kalian masih belum nyampe di apartemen karena sibuk milah-milih dress untuk besok." Haikal melirik tumpukan dress yang dicoba Nadine dari ba'da Magrib.

Tanpa ba-bi-bu Nadine berdiri dan langsung berlari kearah kamar Rabee, menyusuri dapur, sampai ke toilet. Dia tidak menemukan Rabee dimanapun. Dia bergegas kearah pintu. Matanya terbelalak saat menemukan ponsel Rabee yang tergeletak dekat rak sepatu. Nadine juga menemukan sebuah sendal rumah yang dipakai Rabee, bukan sepasang, hanya sebelah.

Nadine meraba leher belakangnya, dia merasakan seperti bekas suntikan disana. Tapi dia tidak ingat siapa dan bagaimana dia bisa berakhir tanpa ingat sedikitpun apa yang sudah menimpanya. Nadine meraih ponselnya yang di-charge cepat dan mencoba menghubungi Raqi.

"Tidak aktif. Rabee please." Nadine panik. Haikal juga ikut bingung sampai Nadine menjelaskan situasinya dengan rinci.

Pintu depan diketuk, Nadine was-was dan mengintip dari lubang pintu. Dengan sigap dia membukakan pintu saat melihat Raqi, Anugrah dan Edward sudah disana.

"Kamu baik-baik saja?" Edward langsung merangkul Nadine cepat. Nadine membatu.

"Oo, hm. Ooo." Haikal bergumam dan tentu saja merusak suasana. Edward dengan canggung melepas pelukannya dari Nadine. Raqi kali ini memeluk Nadine erat.

"Kamu baik-baik saja? Ada yang terluka?" Raqi berkata lembut.
Edward mendelik melihat kejadian itu.

"Aku baik-baik aja Kak, tapi Rabee ... Rabee..." Nadine akhirnya menangis disisi Raqi histeris. Anugrah mengepalkan tinjunya. Gerahamnya terlihat jelas sedang manahan emosi.

"Rabee ... Akan baik-baik saja. Mari kita berdoa." Raqi mengelus kepala Nadine menenangkan.

"Tara sedang dalam pengaruh obat. Kita lacak lokasinya dan selamatkan Rabee." Raqi menatap semua orang dalam apartemen itu serius.

"Kita tidak bisa bersikap gegabah, jika kita memicu emosi Tara, Rabee akan berada dalam bahaya." Anugrah menggertakkan giginya.

"Apa maksudnya? Kenapa Tara bersikap seperti ini pada Rabee? Apa yang salah dengannya? Kenapa dia membuat Rabee dalam bahaya?" Nadine masih belum mengerti permasalahannya.

"Tara memiliki gangguan obsesif pada dirinya. Pusatnya Rabee." Raqi menjelaskan.

"Kenapa harus menculik Rabee? Bukankah mereka besok akan bertunangan?" Nadine semakin bingung.

"Tidak akan pernah. Siapa yang mau membahayakan kehidupan Rabee dengan mengikatnya pada laki-laki seperti dia." Raqi kembali menjawab.

"Apa? Bukankah kakak memaksanya untuk selalu dekat dengan Tara? Kakak membuat Rabee dalam bahaya!" Nadine meledak. Dia tidak percaya apa yang sudah didengarnya, Raqi mendekatkan Rabee dengan seseorang yang memiliki gangguan obsesif? Gila.

"Nadine, kamu tahu bukan itu maksud Kakak." Raqi melangkah mendekati Nadine. Nadine mundur dan bersembunyi dibelakang tubuh Edward cepat.

"Saat ini yang harus kita lakukan adalah menemukan Rabee secepat mungkin. Aku akan menemukannya bagaimanapun caranya." Anugrah menutup matanya dan menghela nafas dalam.

PRESIDENT'S MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang