"Mama, Athan besok pindah sekolah, ya. Pokoknya Athan nggak mau sekolah kalau nggak sama Aya!"
Lilis tersenyum gemas melihat anaknya seolah sedang merajuk. Sedangkan Ara kaget mendengar penuturan Nathan secara tiba-tiba. Padahal, Ara sudah melarangnya tadi saat bercerita. Ara takut kena marah karena Nathan ingin pindah sekolah gara-gara dirinya.
"Nanti kita bicarakan di rumah sama papa, ya?" Lilis mengusap lembut pipi putranya. Ara ingin menangis saat ini. Ia merindukan keluarganya. Merindukan bundanya, merindukan ayahnya.
Nathan mengangguk, melanjutkan aksi makannya dengan sahabat barunya. Sesekali mereka tertawa akibat kelucuan Ara yang terlalu polos. Hingga tak sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Mereka segera bergegas membersihkan makanannya.
"Mama Lilis, Athan, Ara pulang dulu. Makasih, ya." Ara berpamitan pada keduanya.
"Mama Lilis antar, ya?" Ara menggeleng.
"Nggak jauh dari sini, kok." Ara berjalan menuju tempat parkir sepedanya.
"Ara, besok ke sini lagi, ya!" Nathan berseru dari jauh tapi masih di dengar Ara. Tanpa menoleh ke belakang Ara mengangguk, dan itu membuat Nathan senang.
Taman alun-alun masih terlihat ramai karena beberapa pedagang yang belum pulang. Dengan segera, Lilis dan Nathan pulang menuju mobilnya yang sudah terparkir di sana. Di dalam mobil sudah ada sopir pribadi milik keluarga mereka.
***
Setelah dua hari, Nathan benar-benar pindah ke sekolah Ara. Karena sikap polos dan pendiamnya Ara, Nathan dengan keberaniannya terus menjaga dan selalu bersama Ara.
Sampai kelulusan SD mereka masih sama, dan melanjutkan di SMP yang sama juga. Bahkan ada yang mengira dia pacaran. Dan keduanya selalu menjawab sama, kita cuma sahabat. Sejak rumor itulah, Nathan memutuskan untuk mengubah nama panggilan khusus. Mereka memanggil nama masing-masing menyamakan teman yang lainnya.
Dua teman perempuan yang sudah Ara anggap teman terbaiknya, Rifka dan Airin. Hingga sampai kelas sembilan ini, mereka tetap bersama. Menceritakan kisah hidupnya masing-masing. Namun dari yang Ara rasakan, Ara lah yang sering bercerita banyak tentang keluarganya. Dan menceritakan juga tentang sepupunya yang membenci Ara dan pernah mengatakan anak pungut.
Belum sampai hari kelulusan tiba, kedua sahabatnya berkhianat. Ia menyebarluaskan tentang kehidupan dan keluarganya. Tentang dirinya yang anak pungut. Padahal Ara benar-benar lahir dari Merlin dan Hendrik.
Ara menangis, semua temannya menjauh. Menghinanya. Tak ada yang mau berteman dengannya lagi. Rifka dan Airin sungguh benar-benar kejam. Mereka hanya memanfaatkan Ara hanya karena Ara suka mentraktir saat jajan. Remaja seusia itu harusnya tau tentang menjalin pertemanan. Sekarang, Ara menjadi lebih menyendiri. Tak ada sedikitpun ruang hatinya untuk diisi teman perempuan. Ara kecewa.
Tidak bagi Nathan, ia malah meminta maaf beberapa kali. Ia merasa bersalah karena tidak menjaga pergaulan Ara. Padahal itu bukan tugasnya. Nathan hanyalah sahabat. Sahabat setia yang sangat menjaga rahasianya. Sekarang, hanya Nathan satu-satunya teman Ara.
"Maafin gue, Ra...," lirih Nathan merasa bersalah.
"Ini bukan salah Nathan, kok. Ini salah Ara karena langsung percaya aja sama mereka."
"Lo mau hidup bahagia, nggak?" tanya Nathan tiba-tiba.
"Semua orang pasti pengen hidup bahagia, Nath."
KAMU SEDANG MEMBACA
Argithan √
Teen Fiction"Please, Pak. Ara beneran nggak mau di cincang sama kaprog gila, Paaak!!!" Pasang senyum sejuta byte, akhirnya pak ojol menyerah. Ia menepikan motornya. Kemudi motor beralih ke tangan. Ara tersenyum puas harapannya terpenuhi. Saatnya beraksi. "Aduh...