Hampir satu jam pelajaran sudah mereka pakai untuk berkenalan dan berdebat kecil dengan murid cringe-nya, Ara. Tak akan habis jika berdebat dengannya. Di impor dari mana mulutnya Ara?
"Saya bosan dengan pertanyaan kalian. Walaupun saya guru baru, saya anggap sudah lama menetap di sini dan akan membacakan peraturan kelas saya. Jadi, kalian dengarkan baik-baik aturan kelas saya, silahkan tulis di buku, simpan di otak, dan jangan tulis di meja!"
Ara kaget mendengar sentakan antara spidol dan papan tulis, buset dahh! Padahal ia sudah siap pulpen pilot dan meja kosongnya yang sudah bersih. Tujuan untuk menulis di meja musnah, tatapan mematikan Gilang menyusup ke bagian mata Ara.
"Pak, kok gitu?" komentar Ara.
"Kalau kamu mau dapat poin kekurangan silahkan tulis di meja sekolah itu, pakaian kusut kamu, rok kekurangan bahan kamu, jilbab urak-urakan kamu. Nilai kamu akan terancam sempurna untuk tidak lulus, Ara. Mengertilah!" Ara gusar, tangannya otak-atik mencari buku di tasnya.
"Peraturan pertama, batas toleransi keterlambatan adalah lima menit. Lebih dari itu, silahkan tutup pintu dari luar."
Widddihh, namanya saja pak Gila, apalagi peraturannya. Ini lebih gila! Ara menggeleng tak percaya. Guru barunya yang satu ini keturunan dari planet mana coba?
"Kedua, tidak mengerjakan tugas siapkan dua lembar kertas folio. Kerjakan tiga kali lipat, kalaupun tugasnya banyak, dua lembar kertas tersebut harus cukup. Saya tidak akan menerima tulisan dokter!"
"Ketiga, tidak masuk tanpa keterangan harus menerima hukuman. Menggantikan saya berposisi sebagai guru, mengulang pelajaran yang kemarin."
"Pak, mana bisa?" protes Ara.
"Selagi bisa, apa boleh buat?" Ara berdecak, jawaban malah berbalik pada dirinya. Sebuah pertanyaan basa-basi.
"Keempat, dilarang memakai make-up terlalu tebal bagi perempuan. Kalian siswi, bukan tante-tante girang. Dan bukan pula mau nge-dugem."
Nafas Ara tercekat, ia sadar dirinya pernah memakai make-up tebal dan tidak memakai ciput. BK selalu mengincarnya, tapi dengan gesitnya ia berhasil sembunyi. Tak hanya Ara, lainnya juga.
"Dan kamu Ara, belakangnya kamu, sampingnya Arya, sampingnya lagi, tolong sterilkan warna bibir kamu itu. Pink, terlalu mencolok buat saya." Spidol yang dipegang Gilang di arahkan ke siswa yang ditunjuk.
Ara melotot. "Pak, yang benar saja? Ini alami. Bapak tergoda dengan saya?"
"Selera saya bukan seperti kamu yang masih anak-anak, walaupun usia kita selisih enam tahun."
Dalam hati Ara, siji, loro, telu....
"Hahahahaha!!!" Benar dugaannya, seisi kelas menertawainya lagi. Badannya ia putar seratus delapan puluh derajat, matanya menatap tajam satu persatu temannya. Acapkali, semuanya diam kembali.
"Pak, Ara sudah dewasa. Awas aja Bapak terpikat sama Ara!" Temannya tak mau tertawa lagi, sekuat tenaga mereka menahannya.
Pak Gilang menggeleng melempar senyum devilnya. "Saya hanya menasehati kamu supaya tidak memakai lipstik pink terlalu mencolok. Takutnya teman kamu, si Arya, tidak segan-segan akan menyerang kamu." Mata Gilang beralih ke tempat duduk Arya.
"Pak, saya nggak ada minat-minatnya sama tuh bocah satu. Sebelum saya menyerang aja udah takut. Takut disemprot mulut pedasnya, Pak!" Arya membela dirinya, tak mau dengan Ara.
"Heh, Arya Baseng! Awas bae koe!" kesal Ara memelototi Arya. Sedangkan yang dipelototi serasa ingin ngajak gelut.
"Sudah, saya lanjut!" Gilang melerainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Argithan √
Novela Juvenil"Please, Pak. Ara beneran nggak mau di cincang sama kaprog gila, Paaak!!!" Pasang senyum sejuta byte, akhirnya pak ojol menyerah. Ia menepikan motornya. Kemudi motor beralih ke tangan. Ara tersenyum puas harapannya terpenuhi. Saatnya beraksi. "Aduh...