Setelah menaruh ponsel di sakunya, ia segera bergegas ke ruangan gurunya. Tak peduli dengan Nathan yang masih menunggu di luar sana, Ara sudah menyuruhnya pulang daripada lama menunggu. Dengan ngedumel sambil berjalan, ia tak peduli bisik-bisik dari murid-murid lain yang berpapasan.
"Lima menit untuk makan? Bapak kira lokasi kantin belakang kelas, terus tinggal beli lewat jendela? Emang tuh guru sialan, udah namanya pak Gila, sinting lagi. Belum lama lagi nunggu antrean murid lain yang lagi jajan." Ara ngedumel sembari menampilkan wajah kesalnya, menghentakkan kakinya saat berjalan.
Berjalan sendiri di desak-desakan murid lain sudah biasa Ara lakukan. Sudah ahlinya. Apalagi jika ada siswi yang menatapnya, ia malah tatap balik dengan mata melotot. Seolah mengatakan, 'Apa lo!?'. Benar-benar menjengkelkan.
Setelah sampai di depan pintu, ia ketok dengan lemas. Wajah di tekuk, baju urak-urakan, memakai jilbab tak benar. Padahal sudah pakai ciput, tapi rambut di kening masih kelihatan. Benar-benar absurd murid yang satu ini, pikir Gilang setelah menyuruhnya langsung masuk dan melihat penampilan Ara.
Seperti biasa, dengan santainya Ara langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kaprog, Gilang. Gilang yang melihat Ara menggelengkan kepalanya. Biarlah, keberuntungan bagi Ara. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Dengan hal itu, Gilang pun sudah tau bagaimana kebiasaan Ara saat datang ke ruangannya. Gilang tak melarangnya.
"Arang, saya belum menyuruh kamu untuk duduk." Gilang memulainya seperti biasa, basa-basi andalannya.
Ara memutar bola matanya jengah. "Pak, kreatif dikit, dong! Masa setiap Ara datang ke sini kalimat itu-itu terus yang muncul. Bosen Ara, Pak."
Kalau saja dia bukan muridnya, mungkin sudah ia lempar oleh Gilang ke planet asalnya.
"Kamu maunya apa?" tanya Gilang ambigu.
Ara terdiam sesaat, mencerna pertanyaan Gilang. "Masa Pak Gila nggak tau?" Gilang mengedikkan bahunya. "Ara maunya Pak Gila jangan ganggu Ara lah. Masa iya harus di panggil ke ruangan Pak Gila terus? Ara bosen lah ketemu Pak Gila yang kadang kayak setan."
"Apa salah jika seorang guru memanggil muridnya karena demi nilai murid tersebut? Kamu seharusnya bersyukur, Arang. Murid yang lebih pintar dari kamu banyak yang mendaftarkan diri untuk belajar privat dengan saya."
"Lah, Pak Gila kenapa nggak pilih anak-anak yang pinter itu aja, sih?" tanya Ara greget.
Ara sungguh malas. Pasalnya ia tak mau terus-terusan berurusan dengan guru yang selalu membuatnya kesal. Apa-apa serba basa-basi. Bagaimana nantinya nasib istrinya yang selalu di PHP gara-gara kalimat 'saya hanya basa-basi'. Hadeuhh, kok ujungnya malah bahas istri Gilang, sih? Kan nggak punya. Wkwk.
Sesaat mereka terdiam sebentar, Gilang tersenyum miring. "Karena saya hanya menginginkan kamu, Arang."
Benar-benar ambigu, nih, si Gila!, pikir Ara dalam hati. Dan bersiap untuk melawan pembicaraan tak masuk akal itu.
"Kamu seharusnya bersikap lebih dewasa lagi, Arang. Kurangi sikap kekanak-kanakan kamu, sebentar lagi ujian. Saya memilih kamu karena kamu banyak kekurangannya, otak lemot salah satunya," tandas Gilang membuat Ara ingin mencak-mencak hari ini juga. Apa-apaan ini?
Kruyuk kruyuk
Gilang tersenyum misterius mendengarnya. Sedangkan Ara nyengir karena kepergok perutnya berbunyi. Ia membuang nafasnya, heran. Tapi baguslah, ia tidak jadi di semprot mulut pedas muridnya itu.
"Kamu gunakan untuk apa waktu lima menit itu, Arang?"
Ara dengan gusarnya menjawab, "Pak Gila kira waktu segitu cukup buat makan?" Gilang mengedikkan bahunya acuh. "Gini, ya, Pak. Bapak kira lokasi kantin belakang kelas, terus tinggal manggil babeh, 'Beh, lontong sama gorengan!', gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Argithan √
Fiksi Remaja"Please, Pak. Ara beneran nggak mau di cincang sama kaprog gila, Paaak!!!" Pasang senyum sejuta byte, akhirnya pak ojol menyerah. Ia menepikan motornya. Kemudi motor beralih ke tangan. Ara tersenyum puas harapannya terpenuhi. Saatnya beraksi. "Aduh...