11. Pacaran?

224 41 27
                                    

Aaakkhhhh!!!

Nathan menjerit frustasi, menjambak rambutnya sendiri. Semua yang ada di sekitarnya ia sambar, di buangnya ke segala arah. Kamarnya bagai kapal pecah. Semua barang-barangnya berantakan akibat ulah tangannya.

Pikirannya berkecamuk. Apa yang dikatakan Satria benar? Apa Satria benar-benar ada rasa sama Ara? Sungguh, kalau benar, Nathan membenci fakta itu. Dan dengan polosnya, Ara malah menyetujui taruhan Wawan. Nathan ingin melarangnya, tapi bukan haknya.

Ara, apa kamu benar-benar tidak peka atas perlakuan Nathan?

Pintu di ketok beberapa kali beserta teriakan nama memanggilnya, namun Nathan tak menggubrisnya. Lilis khawatir akan keadaan putranya. Bagas, ayah Nathan yang baru saja pulang kerja setelah di telpon istrinya segera menggebrak pintu kamar dengan kekuatan tubuhnya.

Pintu terbuka, menampilkan Nathan dengan wajah kusutnya dengan seragam sekolah urak-urakan yang masih melekat di tubuhnya. Ia terduduk lesu menundukkan wajahnya, matanya memerah dengan air mata yang melintasi pipinya.

"Nathan, bangun...," lirih Lilis menitih Nathan untuk duduk di tepi ranjangnya.

"Kenapa lagi, hmm?" Sungguh, Lilis benar-benar khawatir.

Nathan masih diam, tak mau menjawab pertanyaan ibunya. Namun Lilis pun sudah tau kenapa anaknya seperti ini. Tuhan memberikan ujian lewat Nathan. Siapa yang tega melihat anak kesayangannya menderita seperti ini?

"Nathan, cukup! Ini takdir, Papa yakin kita bisa melewatinya semua. Kamu anak Papa yang kuat, sayang." Bagas beralih menidurkan Nathan, menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya.

"Istirahat yang cukup, semoga ada keajaiban dari Allah. Papa sama Mama berdoa untuk kesehatan kamu. Papa sayang kamu," ujar Bagas mengusap kening Nathan.

Lilis sudah sesenggukan, menahan tangisnya. Nathan seharusnya hidup bahagia. Nathan seharusnya tidak menerima ini semua. Kenapa Tuhan tidak memberikan kepada dirinya saja? Kenapa harus Nathan?

"Ma...,"

Lilis mengusap punggung tangan Nathan dengan senyumnya. "Kenapa, sayang?"

"Nathan nggak mau Ara tau soal ini, Ma, Pa."

Lilis menggeleng. "Sebaiknya kamu beritahu saja kalau nggak mau Ara marah. Ara pasti akan ngerti, kok."

"Atau biar Papa saja yang bilang sama Ara?" Bagas mengambil suara.

"Jangan, Pa!" Nathan mengelak cepat. "Biarkan Ara tau sendiri setelah Nathan pergi, Pa. Nathan mohon, jangan beritahu tentang ini sama siapa pun. Termasuk Ara."

Bagas menghirup nafasnya lalu menghembuskannya. Lilis menatap suaminya, menganggukkan kepalanya. Dengan itu, Nathan tersenyum. Permintaan detik-detik terakhirnya harus terpenuhi.

"Kamu makan dulu, ya. Nanti Mama bawain ke sini." Nathan mengangguk lemah.

Bagas ikut pergi menyusul istrinya. Sebelumnya, ia mengusap kepala putra satu-satunya. Menyemangatinya. Nathan, jagoan Lilis dan Bagas. Nathan bersyukur, ia mempunyai orang tua yang sangat menyayangi dirinya.

***

Ketika angin membelai malam, merayunya dengan cahaya. Matanya ia pejamkan, menikmati sejuknya udara. Ia masih terdiam, tanpa bisik maupun suara. Ia kembali menjadi pendiam untuk sesaat. Duduk sendiri di teras rumahnya. Menikmati bulan dan bintang yang menghiasi langit.

Sedetik lintasan, kini menggebu dalam pikiran. Nama seseorang memenuhi otaknya. Perkataan seseorang mengusik otaknya. Nathan, apa benar yang dikatakan teman-temannya ia menyukai dirinya? Sungguh, Ara kesal jika begitu tidak menyadari.

Argithan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang