Remaja dengan pakaian celana kulot warna navy, kaos polos warna biru langit di bumbuhi kerudung senada warna vavy juga. Ia menstater motor matic milik budhenya yang sudah ia pinjam. Keluar dari perkarangan rumahnya melalui malam yang masih terang.
Angin membelai wajahnya dari arah berlawanan membuat jilbabnya ikut berterbangan ke belakang. Ia berbelok ke arah kanan untuk mencapai tujuan. Rumah besar bercat putih dengan aling-aling pagar rumah yang terlihat megah.
Seharusnya ia langsung masuk ke pagar rumah tersebut. Namun karena digembok dari luar, dia bisa apa?
Ia meraih tas gendongnya, membuka resleting untuk mengambil sesuatu--benda pipih dari dalam tas itu. Sebuah ponsel miliknya.
Untuk yang ke tujuh kalinya ia memanggil nama tersebut namun seperti biasa, operator perempuan yang menjawabnya. Ia sedikit kesal dengan perlakuan Nathan yang kadang-kadang ghosting. Untuk menghilangkan rasa gundahnya, ia terus mengoceh sendiri walau angin yang menyahutinya.
"Nathan ngeselin banget, sih!"
"Ara itu cemburu!"
"Bisa nggak, kalau operatornya diganti mas-mas?!"
"Suara operatornya kecentilan banget lagi!"
"Kalau Ara ketemu orangnya, bakalan tak petes nanti. Nyampe hancur lebur buat pakan iwak Lele!"
"Kalau Lelenya nggak mau, ya udah Ara kasih buat pancing ikan Hiu!"
Begitu ia seterusnya hingga setengah jam di luar gerbang rumah Nathan yang sepi. Itu artinya, satu keluarga tidak ada yang di rumah.
"Besok harus Ara interogasi, nih, si Nathan!" ucapnya lalu menyalakan motornya kembali.
Bukannya putar balik untuk pulang, ia malah melipir ke arab yang tidak-tidak sesuai jalan pikirannya itu. Jalan lurus ia tempuh dengan hanya satu nama di otaknya. Gilang.
Yaa ... ada baiknya kalau ia tau Gilang dan Satria adalah saudara kandung. Jadi, ia tidak perlu susah payah untuk meminta alamat gurunya itu. Yang ada nanti Gilang malah kepedean. Tau sendiri dia orangnya bagaimana, kan?
Belum ada lima menit ia tempuh, motor sudah terparkir di halaman rumah milik pak Botak. Mantan kepala program di sekolahnya yang sekarang sudah digantikan oleh putranya sendiri, Gilang Andhika.
Tok! Tok! Tok!
Ia mengetuk pintu coklat sebanyak tiga kali lalu di susul dengan salam. Belum ada sahutan dari pemilik rumah. Ara hendak mengetuk pintu lagi, namun tiba-tiba pintunya terbuka dan menampilkan sosok perempuan berusia tiga tahun lebih tua darinya.
"Ara? Ada apa malam-malam ke sini?"
Dia Gisyel, adik pertama dari Gilang yang terkenal dingin itu. Namun dibalik sikap dinginnya itu, ia menyimpan banyak kelembutan jika kalian belum mengenalnya.
"Belum jam delapan, Mbak. Masih sore, hehe ...."
"Ke sini sendirian mau ngapain?'
Ara hendak menjawab pertanyaan tersebut, namun tandas akibat dicegat oleh Gisyel yang memiliki mulut cerewet seperti Ara juga.
"Pak Gilang, ya?" tebak di akhiri senyuman jailnya.
"Emm--a-anu, Mbak Gisyel ... mau minta tolong bantu ngerjain tugas," jawab Ara gugup.
"Tugas sekolah nyampe segitunya, Ra? Tujuan lainnya, kangen sama pak Gilang, ya?!" tebaknya lagi lebih girang.
"Ehh! Nggak, kok, Mbak! Ara beneran ke sini mau minta tolong itu."
Gisyel tak menyahuti ocehan teman adiknya itu. Ia menarik tangan Ara menyuruhnya untuk masuk.
"Pak Gilang nggak di rumah, Ra," ucap Gisyel membuat Ara sedih. Siapa lagi yang mau bantuin dirinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Argithan √
Novela Juvenil"Please, Pak. Ara beneran nggak mau di cincang sama kaprog gila, Paaak!!!" Pasang senyum sejuta byte, akhirnya pak ojol menyerah. Ia menepikan motornya. Kemudi motor beralih ke tangan. Ara tersenyum puas harapannya terpenuhi. Saatnya beraksi. "Aduh...