Kembali di bawah alam sadarnya Ara yang masih menangis karena kepergian Nathan. Di suasana bernuansa hitam putih itu ia duduk jongkok sendirian.
Kekasihnya pergi di alam sana. Ia tidak tau apa yang harus dia lakukan karena semuanya kosong, tidak ada pepohonan maupun bangunan-bangunan. Hanya seberkas sinar putih yang menerangi dan menemaninya.
Ara mendongakkan kepalanya kala mendengar tapak kaki berjalan mendekatinya. Bau parfum khasnya, Ara sangat mengingat sekali siapa pemilik wangi harum itu. Dengan sigap, ia berdiri dan langsung menghampiri orang yang tengah melangkah mendekatinya. Mereka saling bertemu.
"Pak Gilang ...," lirih Ara yang masih sesak dengan napasnya.
"Jangan menangis hanya karena kepergian seseorang," tutur Gilang.
"Dia satu-satunya sumber kebahagiaan Ara. Nggak ada lagi orang yang bisa membahagiakan Ara."
"Apakah selama ini kamu tidak sadar?" Ara menggeleng.
"Apakah saya tidak pernah membuat kamu bahagia? Apakah orang-orang terdekatmu tidak pernah membuat kamu bahagia? Apakah hanya dia yang bisa membuat kamu bahagia?"
Ara menggeleng lagi.
"Saya bertanya, Ara!" bentak Gilang membuat Ara gemeteran tubuhnya.
Dalam keadaan aslinya, tubuh Ara mengeluarkan keringat dingin. Apakah dia merasakan apa yang terjadi di bawah alam sadarnya? Mungkin saja iya. Dokter menyuruhnya mengajak ngobrol walaupun hanya angin yang menyahuti. Dengan itu, semoga membantu Ara supaya cepat siuman.
"Maafkan Ara ...," ujar Ara menangis.
Sedetik kemudian, Gilang meraih tubuh kecil Ara. Ia memeluknya erat seolah tak mau kehilangannya. Apakah memang benar kalau Gilang menyayangi Ara lebih dari seorang murid?
Tanpa membalas pelukan Gilang, Ara merasakan kenyamanan pelukan itu. Ia masih menangis dalam pelukannya.
"Berjanjilah jangan menangis lagi, Ara."
Gilang merasakan anggukan kepala Ara dalam dekapannya.
"Apakah Pak Gilang mau pergi meninggalkan Ara di sini seperti Nathan?" tanya Ara mengurai pelukannya.
"Saya tidak akan pergi meninggalkan kamu," jawabnya yakin.
"Temani Ara di sini. Ara tidak mau sendirian di sini gelap, tidak ada siapa-siapa. Ara takut, Pak Gilang ...."
"Kamu tidak akan sendirian, Ara. Saya ke sini menepati janji saya."
"Janji yang mana?" tanya Ara karena lupa.
"Bunda kamu, dia ada di sana."
Dengan menggunakan tatapan matanya, Ara mengikuti arah mata Gilang ke mana memandangnya. Di sana, terlihat seorang wanita paruh baya tersenyum.
Ara memicingkan matanya karena silauan cahaya yang menghalangi pandangannya.
"Apakah benar dia bunda Ara?" tanya Ara tanpa menatap orang yang ditanya.
"Dia janji saya. Apakah kamu lupa kalau saya pernah berjanji akan membawa bunda kamu pulang?"
"Ara masih ingat, bahkan sangat," ujar Ara.
Dengan perlahan, ia melangkahkan kakinya. Begitu juga Merlin. Mereka sama-sama melangkahkan kakinya untuk saling bertemu.
Sepuluh langkah lagi mereka lalui agar bertemu, Ara menghentikan langkahnya sehingga Merlin ikut berhenti. Ara memutar tubuhnya dan kembali ke Gilang lagi. Dengan penuh rasa bersalah, Merlin terlihat sedih. Mungkin dia tidak akan memaafkan dirinya, Merlin tidak pantas untuk dimaafkan karena menelantarkan putrinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Argithan √
Fiksi Remaja"Please, Pak. Ara beneran nggak mau di cincang sama kaprog gila, Paaak!!!" Pasang senyum sejuta byte, akhirnya pak ojol menyerah. Ia menepikan motornya. Kemudi motor beralih ke tangan. Ara tersenyum puas harapannya terpenuhi. Saatnya beraksi. "Aduh...