27. Kehilangan

2.7K 279 55
                                    

27. Kehilangan.

Aku menatap ke pintu ruang operasi sesaat Ananda didorong ke dalam sana. Karena kondisi Ananda yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal, dokter mengusulkan untuk operasi sesar. Dan dengan persetujuan Zul, operasi dilakukan.

Aku berbalik saat mendengar suara langkah kaki. Papa berjalan di koridor rumah sakit dengan ponsel yang baru saja dia matikan.

"Papa sudah menelfon Zul. Dia sedang dalam perjalanan kemari. Orang tua Zul dari Makassar juga dalam perjalanan. Sebaiknya kamu pulang, Kasian Putri sendirian di rumah. Zahra dan Ilyas dalam perjalanan kemari juga."

"Zahra nggak pulang, Pa?"

"Tidak. Aku baru saja menelfonnya. Dia memutar balik untuk ke sini." Perkataan Papa sukses membuat ku membeku. Putri sendirian di rumah. Tatapanku jatuh kepada pakaianku yang awalnya sangat rapi sekarang dibeberapa bagian terlihat kusut.

Astagfirullah..

"Bukannya kamu akan mengajak Putri keluar?"

Aku kembali menatap Papa. "Aku pulang sekarang."

Setelah pamit kepada Papa, tanpa pikir panjang aku melangkah lebar-lebar meninggalkan koridor ruang operasi. Tanpa tahu sebabnya, langkahku berubah berlari bersamaan dengan jantungku yang berdetak tidak normal dan perasaan tidak nyaman mulai merayap di kepalaku. Kepanikan memikirkan Putri sendirian di rumah membuat fokusku terpecah hingga aku hampir saja menabrak suster yang melintas di koridor.

Angin malam membuat tubuhku meremang sesaat aku sampai di luar rumah sakit. Mataku melihat Ilyas dan Zahra yang baru saja keluar dari mobil.

Aku berlari ke arahnya yang kebetulan mobilku parkir di sebelah mobilnya.

"Kak Zahril!" Panggil Zahra dengan suara sedikit meninggi. "Kakak harus pulang. Putri di rumah dengan Fikri. Zahra takut terjadi sesuatu kepada mereka."

Aku hanya mengangguk. Terdiam dengan kepanikan saat aku merogoh kunci mobil di saku celana. Memikirkan bagaimana sikap Putri belakangan ini aku tahu dia akan marah kepadaku. Sekali lagi aku meninggalkannya sendirian. Karena kepanikanku, aku tidak sengaja menjatuhkan kunci mobil.

"Kak Zahril tenang! Kakak harus tenang. Putri baik-baik saja di rumah. Dia baru saja menelfonku." Zahra menghampiriku dan mengelus punggungku. "Kak Zahril pulangnya hati-hati, ya."

Aku mengangguk dan berjongkok meraih kunci mobil dan langsung masuk ke mobil.

Semakin dekat aku dengan rumah. Kekhawatiran dan kepanikanku membuncah. Entah karena apa. Tapi perasaanku mengatakan telah terjadi sesuatu. Apalagi sebelum persimpangan untuk masuk ke kompleks rumah terjadi kemacetan parah disebabkan pengendara yang melanggar aturan. Hal itu membuat pikiranku kacau dan kehilangan fokus beberapa saat.

Aku meraih ponsel dan mendapatkan tiga panggilan tak tejawab dari Putri tiga puluh menit yang lalu. Aku langsung mendial nomornya kembali tapi tidak ada jawaban.

Jarak tempuh yang seharusnya hanya empat puluh menit menjadi satu jam saat aku mematikan mesin mobil di depan teras rumah. Aku membuka pintu mobil dan berlari memasuki rumah.

Aku mendorong pintu ganda terbuka, suara tangis Fikri yang memanggil Putri dengan keras membuatku langsung berlari ke arah di mana asal suara itu.

Ruang keluarga.

Aku menghentikan langkahku tepat di ambang pintu. Jantungku rasanya berhenti berdetak hingga membuatku sulit untuk menarik nafas. Kurasakan telapak tanganku mendingin dengan sedikit getaran di sana. Putri berbaring di sana, di atas lantai dengan darah yang mengalir dari tubuhnya.

Dear Imam Ku (ZAHRIL) | (Ending) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang