34. Kesabaran

2.4K 258 13
                                    

34. Kesabaran.

Happy Reading!
Jangan lupa tekan bintang di pojok kiri bawah!

.
.
.

🌸Zahril (Dear Imamku) 🌸

Masa depan tidak ada seseorang pun yang tahu. Entah itu setahun kemudian, sebulan, sehari atau bahkan satu jam kemudian. Tidak ada seseorang yang tahu bahwa mereka akan melakukan apa di masa depan, menjadi apa dan seperti apa. Hanya Dia yang tahu, Takdir telah Dia atur sedemikian untuk hambanya. Semua yang ditakdirkan untuk hambanya akan datang pada waktunya.

Begitu pun musibah. Semua itu sudah ketentuan darinya. Dan kita tidak tahu pastinya itu akan terjadi. Kemarin semuanya baik-baik saja kemudian hari ini semuanya berubah, kesakitan dan keputusasaan hadir. Dibutuhkan sebuah pegangan untuk melewati itu. Sebuah tangan yang dengan ikhlasnya menjulurkan tangannya untuk membantu.

Aku mengusap mataku, mencoba untuk tegar melihat Kak Zahril yang duduk di kursi roda sedang memandang datar keluar jendela rumah sakit. Setelah operasi kedua yang dia lalui, Kak Zahril seperti sosok yang lain. Lebih pendiam dan dingin. Kak Zahril tidak segan-segan mengabaikan sekitarnya. Dia akan tetap dalam kebisuan dan keheningan yang membuat aku merasakan sakit melihat perubahannya.

"Kak Zahril makan, ya?" Tanya ku lembut sambil mengelus tangannya yang tampak lebih kurus. Kak Zahril kehilangan berat badannya setelah sebulan masa kelumpuhan. Aku berjongkok di depannya sambil menatap prihatin Kak Zahril yang bahkan enggan untuk menatapku balik.

Wajahnya datar dengan tatapan sedingin es. Lebih dingin dari Kak Zahril yang ku kenal dulu. Dia terlihat seperti manusia tanpa jiwa, tidak pernah mengeluarkan suara dan melakukan kegiatan apapun selain Sholat.

Aku mengambil semangkuk bubur ayam yang berada di atas nampan. "Kak Zahril harus makan supaya Kak Zahril cepat sembuh. Kakak mau kan cepat sembuh?" Aku mengambil sesendok bubur dan menyuapinya. "Nah.. Makan dulu setelah ini aku bantu kakak mandi."

Dia membuka sedikit bibirnya tanpa menatapku. Dengan sabar aku menyuapinya hingga bubur di mangkuk telah habis, aku juga membantunya untuk minum. "Aku ke dapur dulu. Setelah itu aku akan kembali untuk bantu kakak mandi."

Aku meraih nampan yang berisi mangkuk dan gelas kosong. Sebelum beranjak, aku menatap lama Kak Zahril yang masih enggan menatapku. Aku tersenyum getir, hatiku sakit melihatnya seperti ini, ku rendahkan tubuhku untuk mencuri ciuman di pipinya sebelum keluar kamar.

Aku menutup pintu di belakangku dan bersandar di sana. Aku menghela nafas panjang, diabaikan seperti ini rasanya tidak nyaman sama sekali. Aku merasakan hatiku berdenyut sakit mendapatkan perlakuan seperti itu. Sudah dua minggu lamanya Kak Zahril bersikap seperti itu, sepertinya kecelakaan yang melibatkan semua temannya meninggal dunia menyebabkan sesuatu di diri Kak Zahril menghilang. Aku mengusap pinggir mataku dan menarik nafas panjang.

"Kamu harus sabar, Putri. Kak Zahril sangat membutuhkanmu." Aku mengangguk kemudian berjalan turun untuk ke dapur.

Di dapur aku bertemu Zahra yang sedang meminum Jus Jambu. Wanita itu sedang mengandung dua bulan. Aku meletakkan nampan di wastafel dan menyalakan keran air untuk mencucinya.

" Kak Zahril bagaimana? Sikapnya belum berubah juga?" Tanya Zahra yang duduk di kursi meja makan.

"Iya." Jawabku singkat.

Dear Imam Ku (ZAHRIL) | (Ending) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang