32. Musibah

2.4K 232 17
                                    

32. Musibah.

.
.
.
.
.

Aku mematikan ponsel dengan senyum yang tidak pudar di wajahku. Aku akan ke Yogyakarta malam ini juga. Aku sudah sangat rindu dengan istri manjaku padahal seminggu yang lalu aku baru saja dari sana. Menjalankan hubungan jarak jauh memang memiliki suka cita sendiri. Kita harus kuat tahan rindu setiap saat dan melepas rindu itu dengan hanya tatap muka dengan perantara ponsel dan kouta data. Tanpa kedua itu, kerinduan akan mengakar.

"Zahril, Ayo! Anak-anak sudah menunggu di mobil!"

Aku berbalik menatap Kak Virman, seniorku yang hari ini juga sudah menyelesaikan sidang akhirnya. Aku kemudian menyimpan ponselku di saku celana sebelum beranjak dari bangku taman fakultas.

"Ngapain lo senyam-senyum kayak orang gila di sana?" Tanya Kak Virman saat aku sudah sampai di depannya.

Aku menggaruk belakang telingaku yang tidak gatal sama sekali. Kak Virman pasti melihat ekspresi konyolku yang sedang menatap ponsel. Aku tertawa canggung, "Hehehe... Biasa, Kak. Saya dengan istriku ngobrol."

Dia manggut-manggut. Kak Virman adalah sekian dari orang yang aku kenal mengetahui statusku. Ternyata pada saat akad di masjid, Virman dengan tidak sengaja berada di antara orang-orang yang menjadi saksi hari terspesial untukku saat aku mempersunting Putri untuk menjadi istriku. Saat itu Kak Virman hanya ingin sholat subuh tapi melihat Masjid yang ramai setelah subuh mengurungkan niat Kak Virman untuk berlalu.

"Lo ikut kan hari ini? Harus ikut! Lo jangan banget kumpul sama anak-anak."

Aku mengangguk. Di kelasku, ada beberapa orang yang mengikuti sidang akhir hari ini jadi mereka berencana untuk merayakannya di alam terbuka untuk mengebadikan momen. Mereka memilih ke bukit yang tidak jauh dari kota, bila menempuh menggunakan mobil, kira-kira satu setengah jam kami akan sampai.

Kak Virman mengambil ponsel di saku celana hitamnya. "Waduh... Anak-anak udah pergi. Kita disuruh nyusul. Lo bawa mobil, kan? Mobil gue di bengkel. Mobil mereka juga udah penuh makanya mereka duluan."

"Saya bawa mobil kok, kak. Cuma saya tidak tahu di mana lokasinya." Kataku saat kami sampai di parkiran.

"Gue tahu. Biar gue yang nyetir."

Aku memberinya kunci mobil yang aku ambil dari tas. Kak Virman membuka kunci mobil. Aku menarik pintu untuk terbuka.

Duk.

"Astagfirullah.." aku meringis dan memegang keningku yang terantuk atas mobil. Aku mengusap denyutan di dahiku kemudian menyergit. Entah karena apa, tapi perasaanku mulai tidak nyaman. Aku tidak mengerti sama sekali dengan perubahaan itu. Aku menggelengkan kepala memilih tidak ambil pusing kemudian masuk ke dalam mobil di mana Kak Virman sudah duduk dan menyalakan mesin mobil.

Aku menarik nafas saat mobil mulai berjalan. Memasuki jalan tol, perasaan ku tambah buruk. Aku merasa tidak nyaman sekali. Aku melirik Kak Virman yang terlihat biasa-biasa saja sambil menyandungkan lagu yang keluar dari spiker mobil.

Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin ini cuma perasaan ku saja. Aku meraih botol air mineral yang selalu tersedia di mobil dan meminumnya hingga habis.

Tapi perasaan ku tidak membaik. Sepanjang perjalanan aku duduk sambil menggerak-gerakkan tubuhku mencari posisi nyaman.

"Oh.. Itu mereka." celetukan Kak Virman membuatku memdongak menatapnya sebelum meluruskan pandangan menatap pada mobil Avanza putih yang di depan kami.

Kak Virman menambah kecepatan mobil untuk menyusul mobil tersebut. Kak Virman membuka jendela mobil saat mobil sejajar dan membunyikan klakson.

Aku bisa melihat wajah-wajah familiar di dalam mobil tersebut yang juga memakai pakaian yang serupa dengan ku. Ilham sebagai sopir membunyikan klaskon mobil kemudian dengan tiba-tiba melajukan mobilnya.

"Wah... Cari lawan tuh anak." Sahut Kak Virman dan mulai melajukan mobil untuk mengejar mobil yang dikendarai Ilham.

Jalan Tol yang cukup lengang membuat dua mobil itu leluasa untuk tancap gas. Ugal-ugalan terjadi. Kak Virman tertawa sambil meracau tentang balap liar mendadak itu.

"Kak, pelan-pelan aja." Sahutku saat mobil terasa sangat kencang hingga berhasil mendahului mobil Ilham lewat jalur kiri. Aku melihat Kak Virman yang mengacungkan jari tengahnya keluar dan tertawa keras.

Ini yang aku tidak suka sebagai penumpang. Aku lebih suka mengendari kendaraan sendiri. Jika saja aku mengetahui tempatnya, aku tidak akan biarkan Kak Virman untuk menyetir.

"Sialan!" Pekik Kak Virman saat Ilham berhasil menyelinapnya. Kembali, laju mobil dipercepat. Mesin mobil terdengar meraung keras bersamaan dengan bunyi decit ban saat mobil melalui tikungan.

"Kak! Pelankan mobilnya." Sahutku kesal saat laju mobil tidak berkurang sama sekali.

"Gue pembalap mobil hebat. Tenang aja. Gue harus menang kali ini."

Sekitar satu kilo dari mereka, terdapat tikungan tajam dengan jurang di sebelah kiri jalan karena daerah tersebut merupakan bukit. Aku meminta Kak Virman untuk memelankan mobil tapi pria itu malah mengganti persenelan dan menekan gas hingga kecepatan mobil sampai pada maksimal saat Ilham berada tepat di belakangnya.

Lima menit kemudian terdengar benturan keras dan ledakan. Kecelakaan naas itu terjadi yang menyebabkan beberapa nyawa melayang. Terakhir, aku merasakan sesuatu yang mengalir di dahiku turun ke pipiku saat mobil menghantam pembatas jalan dan memasuki jurang sebelum ketidaksadaraan mengambil alih tubuhku.

.
.
.
.
.

Tepat jam delapan malam setelah aku menyiapkan makanan di meja untuk menyambut Kak Zahril datang. Berbagai makanan kesukaannya berada di atas meja makan. Aku tersenyum melihat itu, aku tidak sabar melihat wajah terkejutnya.

Aku meraih ponsel di meja dan membuka kolom pesan whatsapp Kak Zahril. Pesan terakhirku jam 10 pagi tadi adalah pesan terakhir. Kak Zahril aktif terakhir jam 2 siang. Aku cemberut melihat itu, Kak Zahril tidak aktif lagi.

Membalikkan tubuhku, aku memilih menunggu Kak Zahril di sofa ruang keluarga depan televisi. Aku yakin Kak Zahril masih berada di perjalanan karena mengingat dia selalu mengambil penerbangan malam.

Aku menghempaskan tubuhku pada sofa dan meraih remot tv untuk menonton Upin Dan Ipin. Aku menyalakan televisi tersebut yang langsung menayangkan sebuah berita kecelakaan naas di jalan tol akibat mobil ugal-ugalan.

"Kembali lagi bersama kami di berita malam. Kembali terjadi kecelakaan naas di jalan tol yang melibatkan dua kendaraan beroda empat." Putri menggeleng dan merasa ngeri saat melihat sebuah mobil avanza berwarna putih terbalik di tengah jalan. ".....  Dengan mobil Honda Jazz berwarna hitam terjun ke jurang. Belum diketahui penyebab pasti kecelakaan tersebut. Tapi beberapa saksi mata dari pengendara lain mengatakan bahwa kedua mobil tersebut terlibat balap liar."

Aku membekap mulutku menahan isak tangis saat melihat sebuah mobil  yang sangat familiar dimata ku berada di dasar jurang dengan posisi terbalik dengan bagian roda berada di atas. Aku menggeleng berusaha menyangkal.

Tidak.

Tidak.

Tidak.

Itu bukan dia.

Mobil itu hanya mirip.

Kak Zahril sedang berada dalam perjalanan ke sini.

Tidak mungkin itu dia.

Tapi tanda pengenal mobil yang terpampang jelas di layar televisi membuat ku merasa lemas seketika. Kurasakan oksigen hilang disekitarku yang menghadirkan rasa sakit di dadaku.

Tidak..

Bukan dia.

TBC.



Dear Imam Ku (ZAHRIL) | (Ending) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang