35. Yang Terbaik
Happy Reading!
Jangan lupa tekan bintang di pojok kiri bawah, ya!
Komennya juga dong!
.
.
.Aku mengusap rambut Kak Zahril yang basah sehabis keramas menggunakan handuk. Setelah kejadian tadi, Kak Zahril kembali dalam diamnya. Dia menatap kosong pada cermin yang memantulkan tubuh kami berdua, aku berdiri di belakangnya dengan tangan di atas kepala Kak Zahril.
"Kak! Bagaimana jika sore ini kita jalan-jalan di sekitaran kompleks? Ada penjual batagor di taman. Aku mau makan itu," kataku semangat. Tanganku bergerak membuka laci dan mengambil sisir di sana. "udah lama banget nggak ke sana."
Aku menatap Kak Zahril lewat cermin. Kak Zahril diam seakan tidak mendengar suaraku sama sekali. Aku menyimpan handuk basah di meja dan mulai menyisir rambut tebal Kak Zahril.
"Rambut Kak Zahril wangi banget."
"Mau model rambut bagaimana, kak?"
"Aku sisir ke samping?"
"Atau model rambut bela dua?"
"Jabrik bagus nggak, kak?"
"Mulai sekarang aku akan jadi tukang sisir rambut khusus Kak Zahril." Aku tertawa canggung kepada keheningan kamar.
Aku pasif tentang model rambut pria. Semua yang aku sebutkan sudah aku praktikan ke rambut kak Zahril tapi menurutku itu tidak bagus sama sekali. Rambut Kak Zahril yang tadi ku sisir kebelakang akhirnya aku acak-acak kembali.
"Emang kak Zahril cocoknya sama rambut yang acak-acakan." Aku mengalungkan tanganku di lehernya dan merendahkan tubuhku, dagu ku aku letakkan di bahunya. "Ganteng banget sih suami aku." aku mengecup pipi kiri Kak Zahril dengan sayang sebelum melepas pelukanku.
Aku menatap sekali lagi tampilan Kak Zahril yang menggenakan kaos berwarna merah maroon dengan celana hitam selutut. Dia terlihat tampan seperti biasa.
" Aku siap-siap dulu. Setelah itu kita ke taman depan, ya!"
.
.
.
.Aku mendorong kursi roda Kak Zahril jalan komplek yang ramai sore ini dengan orang-orang yang nongkrong di depan rumahnya. Sekali-kali aku membalas senyum dan sapa dari orang yang ia kenal. Dari sini aku tidak bisa melihat jelas wajah Kak Zahril karena ia menggunakan topi berwarna hitam menutupi kepalanya.
Kami sampai di taman kompleks yang didominasi popohonan mangga dan bermacam-macam jenis bunga. Di tengah taman, ada taman yang dikhususkan untuk anak - anak di sanalah aku membawa Kak Zahril. Aku mendorong kursi roda hingga berada di depan bangku taman yang kosong yang terletak di bawah pohon.
Aku berjalan ke depan Kak Zahril dan berjongkok di depannya. Tanganku menggenggam kedua tangannya. "Kak Zahril mau makan batagor juga?" Tanyaku.
Tapi dia hanya diam sambil memperhatikan anak - anak kompleks yang bermain di seluncuran dan ayunan sana. Suara tawa dan pekikan antusias jelas terdengar di taman itu. Aku menghembuskan nafas pelan saat Kak Zahril tidak mengubris ku sama sekali.
"Aku akan kembali." aku meremas tangannya dan berdiri untuk mencari penjual batagor yang selalu nongkrong di taman. Sekitar sepuluh meter dari tempat Kak Zahril terdapar penjual batagor. Aku membeli satu batagor dan botol minuman kopi dan teh setelahnya kembali ke bangku.
Aku meletakkan belanjaan ku di sampingku sambil menatap Kak Zahril yang terlihat fokus memandang pada anak-anak yang berlari ke sana kemari. "Mau, kak?" Tanyaku.
Dia menggeleng.
"Kak Zahril nggak haus?"
Dia kembali menggeleng.
Aku menghela nafas kemudian menatap wajah Kak Zahril yang enggan menatap balik padaku. "Kak Zahril kenapa sih? Aku ada salah? Kenapa diam?"
Aku mengepalkan tangan saat dia masih saja memalingkan wajah dariku. Kotak batagor ku masih penuh, nafsu makan ku telah hilang karena sikap Kak Zahril.
"Emang mulut Kak Zahril juga bisu? Sampai nggak bisa bicara lagi?"
Ku lihat wajah Kak Zahril sedikit goyah dari kediamannya, tapi hanya sebentar sebelum menunduk dalam. Aku kemudian duduk di depannya berusaha untuk menatap wajahnya. Aku meraih topi yang dia kenakan.
"Jawab, kak!"
Aku mengepalkan tanganku di samping tubuhku saat dia mendongak menatapku dengan sorot dingin. "Pergi! Kamu berisik!"
Aku tertawa menyedihkan. "Kak Zahril kenapa sih? Mau aku pergi? Iya?"
Kak Zahril diam kembali.
"Oke. Aku pulang! Aku mulai muak dengan sikap Kak Zahril yang seperti ini!" Aku berdiri dan langsung beranjak meninggalkannya dengan air mata yang keluar dari kedua mataku. Kak Zahril sungguh menyebalkan. Dia tidak tahu bagaimana aku berusaha untuk membuatnya kembali seperti Kak Zahril yang dulu.
Aku rindu Kak Zahril yang dulu.
Aku berhenti saat aku memasuki lorong untuk ke blok rumah Kak Zahril. Mataku berkedip saat setetes air jatuh membasahi pipiku yang setelah nya dengan cepat berubah deras.
Hujan turun dengan derasnya. Aku tidak menyadari bahwa awan di atas sana sangat gelap. Tubuhku langsung berbalik dan berlari untuk kembali ke taman. Kak Zahril sendiri di sana. Jantungku berdebar kencang seiring langkahku, aku merutuki kebodohanku karena meninggalkannya sendirian di sana. Seharusnya aku lebih bersabar lagi pada Kak Zahril.
Aku tiba di taman dan langsung berlari di mana Kak Zahril terakhir kali berada. Langkah kakiku ku percepat saat melihat Kak Zahril masih di sana dengan kepala mendongak. Topi yang dia gunakan sudah terlepas dari kepalanya.
Aku langsung memeluknya saat itu juga dari belakang. "Maafkan aku kak. Aku tidak bermaksud meninggalkan kakak."
Kurasakan tubuhnya bergetar. "Kamu pergi. Lebih baik kamu pergi! Cari kebahagiaan kamu sendiri. Aku tidak mungkin membiarkan kamu mengurus aku yang cacat ini. Kamu harus kembali kuliah! Tinggalkan aku! Aku tidak ingin membebanimu dengan kedua kaki ku ini."
Aku menggeleng dan lebih mengencangkan pelukanku.
"Aku nggak akan pergi. Kak Zahril lebih penting dari segalanya. Kebahagiaan aku itu Kakak! Aku tidak akan pernah menemukan kebahagiaan jika aku jauh dari Kak Zahril. Please... Jangan menyuruhku pergi."Kak Zahril melepas pelukanku dan memutar kursi rodanya sendiri. Dia membalikkan tubuh menatap ke arahku. Kedua matanya yang memandangku dingin sungguh membuat hatiku sakit.
" Pergi! Aku bukan kebahagiaan kamu lagi. Aku sudah tidak mencintaimu. Lebih baik kamu pergi. Kamu akan malu mengurus aku, suami yang cacat.
A... Aku akan menceraikanmu."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imam Ku (ZAHRIL) | (Ending)
RomanceBELUM REVISI!!! Di ujung dermaga, sepasang kekasih halal berdiri menikmati senja yang perlahan menghilang. Tangan saling terjalin dengan cincin emas melingkar di jari manis masing-masing. Masih teringat jelas diingatan suara lantang dari sang pria...