liquid: palsu

68 20 0
                                    

KACAMATA yang longgar didorongnya lagi hingga terpasang dengan benar di pangkal hidung, tangannya ikut mengeluarkan sebuah kotak saat kedua anak di kiri dan kanannya melakukan hal yang sama. Dan setelahnya, setelah hitungan satu sampai tiga, ketiga gadis itu membuka kotak beragam warna di hadapannya dengan serempak.

"Sosis!"

"Ikan Bandeng!"

"Ayam!"

Ketiganya saling pandang, lalu dua teman di kiri dan kanannya itu terkikik. Merasa lucu terhadap kegiatan saling pamer isi bekal makan siang ini untuk kesekian kalinya. Sedangkan dia sendiri, malah hanya terdiam dengan wajah datar dan terkesan serius. Dia melirik isi kotak bekal gadis di kanannya. "Lagi-lagi sosis, Renn? Lain kali bawa yang lebih sehat, dan tambahkan sayuran."

Renna langsung memberengut. Tangannya ia letakkan di pinggang dengan alis yang hampir bertaut, "Tapi sosis saus asam buatan ibu lebih enak daripada sayuran!"

Di sisi kirinya, gadis dengan rambut pendek di atas bahu terkikik. "Tapi kata Fio benar, loh. Kamu harus lebih banyak makan sayuran, Renna."

"Bahkan Kiran juga…," Renna menghela napas, bahunya sedikit turun saat berkata, "ya sudah nanti kucoba makan sayuran, deh."

"Dengan ikan yang banyak juga, oke?"

Gadis yang dipanggil Fio itu tersenyum miring karena merasa mendapat dukungan. Tangannya kembali bergerak membenarkan letak kacamatanya lalu mulai menyantap makanan setelah puas dengan ekspresi kalah Renna.

Begitulah aktivitas harian mereka di setiap jam istirahat kedua. Meski kini kelas mereka telah berpisah sejak menduduki kelas dua, mereka tetap menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama, paling tidak di saat ini. Apalagi, jam istirahat kedua ini lebih panjang, sehingga mereka bisa memakan makan siang sambil mengobrol panjang di taman belakang sekolah ini dengan nyaman.

Di dalam sesi makannya, mata Fio memperhatikan Kiran yang juga sedang makan dengan seksama. Tidak tahu kenapa, setiap gerakan yang dilakukan gadis itu selalu terlihat anggun dan berwiba. Ia sampai tidak bisa mengalihkan pandang. Fio sangat mengaguminya. Apalagi kenyataan Renna—yang sangat pemilih soal makanan ini—langsung mengiyakan ketika Kiran yang mengatakannya, membuat Fio semakin sadar betapa besarnya pengaruh yang dibawa Kiran pada orang di sekitarnya.

"Kalau saja kamu seorang artis yang diidolakan banyak orang, mungkin kamu bisa mengubah satu negara."

Kiran terbatuk sedetik setelah mendengarnya. Ia berbalik untuk memperhatikan lawan bicaranya lebih baik lalu mengerut alis dalam, "Idola? Mengubah satu negara? Fio, seperti biasa aku tidak mengerti isi pikiranmu."

Fio melahap sesendok makanan sebelum membalas, "Saat ini artis-artis sangat berpengaruh besar bagi masyarakat. Tapi sayangnya, kebanyakan dari mereka malah menjadi contoh yang tidak baik. Masyarakat memerlukan panutan, menurutku kamu sangat cocok."

Renna mengangguk-anggukkan kepala semangat di kanannya. Mulutnya asik mengunyah, dan ketika selesai ia langsung berkata, "Kamu cantik, bisa apa saja, dan baik sekali. Pasti banyak orang yang akan menyukaimu!" Gadis itu membenarkan letak poninya hingga ke belakang telinga lalu melanjutkan, "Hm … tapi kamu inginnya jadi polisi, ya."

"Eh … aku tidak seperti itu, kok. Kalian jangan terlalu melebihkannya."

Sejurus dengan itu, Renna dan Fio langsung menatap serius Kiran dengan wajah penuh ketidaksetujuan. Membuat Kiran hanya bisa tertawa renyah tanpa membalas lagi.

"Ah! Botol minumku tertinggal di kelas, aku ambil dulu, ya!"

Renna langsung berlari menuju gedung sekolah tanpa menunggu balasan kedua sahabatnya. Fio melihat kepergian gadis itu sambil menghela napas, lalu kembali menatap gadis di kirinya dengan serius. "Akan banyak hal yang menyedihkan, dan kamu akan menjadi pembicaraan netizen yang kadang sukanya hanya mengkritik. Tapi aku yakin kamu bisa menghadapinya."

Kiran terperangah, mengerjap beberapa kali sebelum tertawa canggung. "Astaga, kamu akan melanjutkan pembicaraan aneh ini?"

Namun, melihat tatapan lurus di balik kacamata berbingkai bulat di sampingnya membuat Kiran menghela napas dengan sebuah tawa kecil. "Aku tidak suka menjadi mencolok, jadi pekerjaan itu tidak akan cocok untukku."

"Kamu kira kamu tidak mencolok saat ini, Kiran?"

Kiran terdiam, matanya melihat ke arah atas seakan berpikir, lalu meringis pelan. Menyutujui ucapan Fio tanpa suara. Gadis itu berdeham, memasukkan ayam dan sayuran ke mulut dan mengunyahnya pelan. Senyum tidak pernah luntur dari bibirnya. Namun, Fio tahu lebih baik.

"Aku bilang kamu cocok bukan hanya karena kamu akan membawa perubahan, tapi karena aku tahu kamu akan kuat menjalani kehidupan kerasnya." Fio menenggak air es jeruk dari botol yang ia beli sebelumnya. Matanya kini menatap lurus ke arah Kiran yang kelihatan masih belum menanggapi pembicaraannya dengan serius.

"Karena kamu itu palsu."

Kiran menghentikan acara makannya dan kini menatap Fio lurus. Fio perhatikan mata itu, dan lagi. Kiran malah memberinya sebuah senyum manis. Senyum yang menjadi perhatian penuhnya sejak pertama kali ia melihat sosok gadis itu di tahun pertama mereka SMP.

Namun, karena sering melihatnya lah Fio jadi tahu. Senyum itu … penuh dengan kebohongan.

"Kenapa kamu pikir aku palsu?"

"Kamu selalu tersenyum. Tapi … aku merasa hatimu tidak. Dia selalu bersedih, kamu selalu menangis di dalam sana."

Karin tidak membalas dan malah tertawa kecil setelah hanya terdiam beberapa saat. Ia lanjutkan acara makannya dan membiarkan Fio dengan asumsi yang bahkan tidak repot-repot ia kilah. Fio memperhatikan bekal makannya sendiri, tapi pikirannya berada di tempat lain. "Aku suka memperhatikanmu. Ekspresimu kelihatan berkontradiksi dengan apa yang kulihat di matamu."

Tangannya yang memegang sendok mengerat, "Meski begitu … aku tidak tahu kenapa kamu harus menangis. Hidupmu sempurna, meski kamu hanya tinggal dengan ayahmu—aku tahu ia sangat baik dan tidak akan membuatmu terluka, dan kamu sendiri diciptakan dengan sempurna."

Kali ini perlu waktu lebih lama lagi agar Kiran menjawab pertanyaan itu. Gerakan tangannya yang terhenti sesaat lalu, akhirnya kembali bergerak untuk menyendok sesuap lagi makanan sebelum berkata, "Kamu salah tentang dua hal, Fio."

Fio memandang ke arah Kiran sepenuhnya. Ia tahu dia sendiri adalah pengamat yang baik, dan analisanya selama ini hampir selalu benar. Ia jadi bingung kala Kiran mengatakan bahwa dia salah.

"Pertama, tidak ada yang diciptakan sempurna. Manusia itu … penuh ketidaksempurnaan, lemah …, dan dipenuhi rasa takut." Untuk beberapa saat, cahaya di mata Kiran kelihatan menggelap dengan tatapan yang kosong. "Yang kedua, tidak semua yang kamu lihat dengan matamu itu adalah sebuah kebenaran."

Fio terdiam. Ekspresi itu muncul lagi. Perasaan gelap penuh kesedihan dan putus asa dari mata itu kembali menunjukkan dirinya. Sesuatu yang sudah berkali-kali ia lihat, tapi juga terasa sangat asing. Dalam asumsi Fio, itulah Kiran yang asli.

"Tapi," Kiran menjeda saat meminum air mineral di botolnya, "jangan terlalu dipikirkan, oke? Karena aku juga tidak tahu yang mana yang asli, atau yang palsu."

Kiran tersenyum sekali lagi, "Atau malah, tidak ada yang asli."

Fio membeku beberapa saat. Hanya untuk sesaat, ia seperti melihat sesuatu yang sangat gelap dan dingin dari mata itu. Senyum yang tergurat terasa janggal, dan menyeramkan.

Fio meminum airnya sekali lagi. Punggungnya terasa berkeringat dingin dan ia langsung berpaling dari wajah itu saat merasakan kegelisahan di dalam hatinya bertambah tanpa sebab.

Jadi, siapa sebenarnya dirimu yang asli, Kiran?

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang