SUARA PIRING dan sendok yang saling bersinggungan adalah satu-satunya suara yang terdengar di meja makan yang diisi oleh dua orang itu. Menu komplet yang dimasak oleh Kiran berhasil dihabiskan tidak kurang dari dua puluh menit, dan ayahnya langsung beranjak dari tempat itu setelah selesai.
Kiran menghela napas dan segera menghabiskan bagiannya juga. Perutnya terasa sakit, dan napasnya tertahan ketika melihat ayahnya menuju ke arah ruangan khusus yang hanya boleh dimasuki olehnya. Gadis itu segera mengangkat piringnya dan juga sisa alat makan kotor menuju wastafel, membiarkan suara air mengalir menenangkan dirinya meski hanya sedikit.
Ia terus menyelaraskan napas. Mencoba bersikap sebiasa mungkin. Meski begitu, ia bisa merasakan tangannya bergetar selama membasuh piring-piring itu.
Kiran telah mencuri. Ia mengambil salah satu barang dari koleksi milik ayahnya dari ruangan khusus itu. Dan kalau ia tidak beruntung dan ayahnya menyadari hal itu—meski ia mencuri barang yang paling jarang ayahnya gunakan—ia mungkin akan mendapat hukuman mengerikan. Lebih parahnya lagi, tindakan itu bisa saja dianggap sebagai salah satu ancaman untuk mengkhianati ayahnya.
Meski sebenarnya, memang itulah yang ingin Kiran lakukan.
Kiran hampir tidak bernapas kala di detik berikutnya, ia merasakan seseorang telah berada tepat di belakangnya dengan aura yang sama sekali tidak mengenakkan. Gadis itu mengerjap, meletakkan gelas yang hampir saja jatuh karena rasa terkejutnya ke rak lalu menengok ke arah belakangnya dengan sebuah senyum manis. "Ada apa, Ayah?"
Ia mengembalikan napasnya yang tadi sesak. Kiran pasti akan baik-baik saja. Ia sudah mengasah kemampuan mengendalikan ekspresi wajahnya cukup lama. Ia yakin tidak akan ketahuan. Karena itu, meskipun sebuah ekspresi mengerikan dari pria yang sedang menahan amarah itu telah berada tepat di hadapannya, Kiran dengan andal mengubah ekspresinya: alisnya turun ke bawah bersamaan dengan gestur memiringkan kepala. Menunjukkan ekspresi bingung dan khawatir secara bersamaan.
"Kiran ... kamu tidak akan dengan lancang ke ruangan yang ayah larang, bukan?"
Mata tajam itu langsung menatap matanya. Dada Kiran berdegup kencang hanya karena merasakan aura hitam dan berbahaya yang terpancar dari pria itu. Meski begitu, ia meneruskan aktingnya. "Ya, Ayah. Aku tidak pernah ke ruangan itu selain jika Ayah suruh. Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
"Pisau." Tangan besar pria itu kembali menggapai lehernya dengan sangat mudah. Jari telunjuknya dengan sengaja menekan tepat ke arah tenggorokan Kiran hingga ia terbatuk dan kesulitan bernapas. "Salah satu pisauku hilang. Kutanyakan sekali lagi, kamu tidak ke ruanganku dan dengan sengaja mengambil pisau itu, bukan?"
Napas Kiran terengah-engah, meski begitu ia tidak melawan atau mencoba melepaskan tangan besar itu. Melawan berarti menantang. Dan hal itu hanya akan membawa penderitaaan lain yang lebih parah untuk gadis itu. Ia akhirnya menjawab dengan suara terputus, "A-aku tidak ... melakukannya ... A-ayah ...."
Tangan besar pria itu akhirnya terlepas dari Kiran setelah beberapa saat. Kiran kembali terbatuk dan tertunduk saat merasakan tubuhnya kehilangan kekuatan. Dadanya kembang kempis mengambil udara sebanyak-banyaknya setelah kekurangan napas. Lehernya terasa sakit. Ia hanya bisa berharap hal itu tidak akan menimbulkan bekas di sana. Karena leher adalah tempat yang akan sulit untuk disembunyikan.
Pria itu pergi tanpa mengatakan apa pun lagi setelahnya. Kiran menatap punggung itu hingga hilang di balik pintu. Setelahnya, ia segera menyelesaikan pekerjaannya membasuh piring dan memasuki kamar dengan langkah terburu-buru.
Ketika pintu telah tertutup dan dikunci, Kiran segera terduduk di belakang pintu. Napasnya kembali terengah dengan seluruh tubuh yang bergetar kuat. Ketika ia melihat ke arah cermin, ia bisa melihat pantulan lebam kecil di lehernya. Kalau saja ia salah bicara tadi, bisa-bisa ia pingsan karena kehabisan napas.
Paru-parunya terasa sakit saat dipaksa menghadapi banyak tekanan ketika ia bernapas. Kepalanya berdenyut hingga pandangannya mengabur. Payah, bahkan hanya dengan satu langkah untuk maju saja, ia hampir dikalahkan tanpa ampun.
Ketika akhirnya Kiran mendapatkan kembali ketenangannya, ia berjalan menuju meja belajar yang berada di ujung kiri ruangan. Meja belajar itu didesain dengan ukuran cukup besar dan dengan tiga rak bertingkat di sebelah kanannya.
Ia membuka rak kedua. Awalnya, tidak ada apa pun selain kumpulan kertas yang rangkuman yang ia buat untuk menghadapi ulangan semester di sana. Namun, ketika semua itu di keluarkan dari tempatnya lalu ia menekan salah satu ujung permukaan rak, sebuah ruang kembali terlihat di balik papan tipis itu. Sesuatu yang ia buat hanya bermodalkan cara dari internet dan sebuah papan kecil. Paling tidak, ayahnya akan tertipu kalau tidak mencari dengan serius.
Kiran mengembuskan napas ketika melihat isinya: sebuah pisau ukuran sedang dan sebotol kecil cairan berwarna merah yang biasa digunakan untuk membunuh tikus.
Napas Kiran kembali terasa sesak. Memegang pisau itu saja berhasil membuat tangannya bergetar.
"Sebenarnya, kamu tidak cukup berani untuk membunuh ayahmu, bukan?"
Pertanyaan ibunya dari mimpi itu kembali terdengar di telinganya. Menerornya selama berhari-hari dan berhasil mendorongnya untuk menyiapkan alat-alat itu. Meski begitu, bahkan setelah semuanya siap, Kiran terus merasakan adrenalinnya terpacu sangat cepat.
Membunuh sangat berbeda dari saling memukul yang sering ia lakukan di latihan silat. Membunuh berarti mengambil nyawa seseorang dan menjadi kriminal.
Apa Kiran bisa melakukannya?
"Lakukan saja. Jika kamu tidak melakukannya, kamulah yang akan mati. Kamu ingin Kakak dan Ibu kembali menderita?"
Kiran terperanjat dan menengok ke arah belakang. Matanya kembali terpaku pada cermin itu. Ada yang aneh di sana. Ekspresi wajahnya yang terpantau di cermin itu … berbeda dari yang sedang ia berikan. Bahkan ketika Kiran sedang terduduk, sosoknya di sana sedang berdiri tegak dengan senyum mengerikan di wajahnya.
"Daging manusia itu hampir sama seperti daging sapi. Kamu sudah ahli memotongnya, bukan? Semua akan baik-baik saja."
Kira memandangi pisau curian itu dengan napas menderu. Keringat memenuhi wajahnya. Pegangan pada gagang plastik itu menguat. Namun di detik berikutnya, ia segera mengembalikan pisau itu ke dalam rak dan menyembunyikannya seperti semula.
"Jadi kamu takut?"
Kiran menggeleng lalu berjalan menuju ke depan cermin itu. Ia sekarang tersenyum sama mengerikannya dengan bayangan di cermin itu. "Tidak sekarang. Aku harus memikirkan rencana yang lebih matang, tanpa adanya kegagalan. Karena kalau aku gagal, hidupkulah yang akan berakhir."
_____
A/N: Cerita ini semakin gila; lebih gila dari perkiraan awalku. Sudah waktunya untuk memperingati orang-orang sebelum membaca cerita ini ( ̄◇ ̄;).
KAMU SEDANG MEMBACA
liquid: get your revenge || end
Mystery / Thriller15+ Perasaan tidak diperlukan, apalagi nurani. Cukup lakukan seperti yang dia inginkan; kisah ideal yang penuh sandiwara. Sembunyikan 'dirimu' yang asli. Karena yang perlu kau lakukan hanyalah mengikuti benang takdir buatan Dia yang memegang kendali...