liquid: boneka

67 15 0
                                    

DUA ORANG saling berhadapan. Bersamaan dengan tubuh yang mengambil kuda-kuda bersiap, terdengar suara dari samping yang menjadi pemandu.

"Sisi kanan, Sano. Sisi kiri, Kiran. Bersiap. Mulai!"

Anak laki-laki bernama Sano itu memperhatikan gerakan Kiran. Ikut bergerak memutar saat Kiran melakukannya. Kaki dihentakkan seirama, dan tangan terkepal di depan tubuh siap untuk menyerang ataupun bertahan. Napas mereka naik turun secara beraturan, dan mata mereka yang saling berpandangan tidak gentar sedikit pun-mencari celah untuk menyerang dengan seksama.

Saat gadis itu bergerak ke kiri, Sano mengambil langkah terlibeh dahulu, meraup napas dalam satu embusan dan memajukan kaki kiri-hingga mendapatkan tumpuan yang cukup kuat agar kaki kanannya dapat memberi sebuah tendangan. Sayang, Kiran dengan mudah menghindar. Ia bahkan mengambil satu langkah kanan dan berbalik menyerang dadanya dengan sebuah tinjuan yang cepat dan tidak dapat dihindari.

Keduanya mundur dua langkah. Menjaga jarak dan mulai mencari celah sekali lagi. Suara penonton sparing yang meriah tidak membuat keduanya kehilangan fokus.

Mereka saling menendang lalu menghindar, memberi pukulan lalu menangkisnya dalam waktu yang cukup lama. Sano tanpa sadar tersenyum. Diam-diam menikmati setiap perlawanan yang diberikan Kiran. Belum ada yang bisa memberi perlawanan seketat ini, dan itu membuatnya merasa sangat bersemangat.

Kiran memberikan sebuah tendangan tinggi. Kalau saja refleksnya tidak cukup baik, tendangan itu akan langsung mengenai sisi kiri pipinya. Satu detik saja terlambat, bisa-bisa ia kalah. Beruntung ia berhasil menunduk, melihat celah saat melihat pijakan Kiran tidak akan seimbang saat kaki kanannya baru turun lagi, dan mengambil kesempatan itu untuk menjatuhkannya dengan teknik sapuan.

Tubuh keduanya jatuh, namun tentu pihak Kiran lebih dirugikan karena jatuh dengan paksaan dari kaki Sano dengan cukup keras. Laki-laki itu tersenyum lebih lenar saat menyadari serangannya kali ini berhasil. Barulah di detik berikutnya, ia terhenyak dan sesegera mungkin melepaskan sapuan kakinya pada gadis itu.

"Sano, sisi kanan, menang!"

Sano melempar tatapan pada Kiran yang kelihatan meringis sambil memegangi punggungnya. Ia langsung berdiri dan mencoba menolong gadis itu dengan perasaan bersalah. Karena memberikan perlawanan yang sangat baik, Sano lupa kalau lawannya kali ini adalah seorang perempuan.

Sano memegang kedua pundak Kiran saat akhirnya gadis itu akhirnya bisa berdiri dengan bantuannya lalu berkata dengan panik, "Astaga ... maafkan aku! Kamu tidak apa-apa? Aku menjatuhkanmu cukup keras tadi."

Kiran terdiam sebentar. Mengambil sebuah hembusan napas sebelum melebarkan senyumnya. "Tidak apa-apa, Kak. Lagipula sejak aku menyutujui sparing ini, aku juga sudah tahu konsekuensinya jika melawan andalan perguruan silat ini, kok."

"Eh, Kakak kurang gentle nih, hadepin perempuan!"

"Tanggung jawab, ayo tanggung jawab bawa Kak Kiran ke UKS!!"

Sano meringis saat mendengar satu persatu adik-adik maupun teman seangkatannya yang sedari tadi menonton pertandingan mereka mulai ribut menyorakinya. Ia melirik Kiran sekali lagi. Entah kenapa, gadis itu menampakkan ekspresi sedih dan kecewa di wajahnya. Apa karena kalah darinya?

"Jangan ditatap aja, dong! Nanti malah jatuh cinta!!"

Sano memberikan tatapan sangarnya pada pemilik suara, tapi yang ditatap malah tertawa lepas melihat reaksinya. Dasar teman makan teman. Sudah jelas sekali teman-yang tidak lagi ingin ia akui-itu sengaja mengatakannya dengan keras untuk mengejeknya. Sano mendecak, lalu menghadap ke arah pelatih. Meminta persetujuan membawa Kiran ke ruang kesehatan, lalu menuntun gadis itu saat sudah dihadiahi sebuah anggukan.

"Kakak kembali saja ke sana, aku bisa ke ruang kesehatan sendiri."

Tepat setelah mereka berhasil kabur dari riuahnya siulan mengejek anak-anak, masih tidak terlalu jauh dari lapangan tempat mereka latihan, Kiran akhirnya membuka mulut. Ia kelihatan sedikit canggung, memberikan senyum tak nyaman sambil mencoba berdiri tegak. "Aku tidak apa-apa, kok."

"Punggungmu sakit, kan? Kamu kelihatan tidak nyaman berdiri tegak sejak tadi. Apa karena terhempas waktu jatuh tadi?"

Kiran tidak menjawab pertanyaannya dan malah memberi senyum lagi. Sano menghela napas, lalu menarik tangan Kiran agar kembali berjalan, "Ini salahku yang tidak hati-hati. Jadi tidak perlu menahan diri. Kalau sakit, bilang saja sakit."

Saat mencapai UKS, Kiran terlihat enggan memasuki ruangan itu. Ia masih mempertahankan senyum di bibirnya, tapi Sano yakin ada kecemasan di balik mata itu. Sano berbalik dan mencoba menenangkan, "Di sini perawatnya perempuan, kok. Tidak perlu khawatir. Dia akan memeriksamu, jadi jika ada cidera serius di punggungmu itu, kita bisa langsung larikan ke rumah sakit."

Kiran terlihat terkejut, dengan cepat melepaskan genggaman tangan Sano lalu mundur beberapa langkah. "Aku tidak apa-apa. Aku akan kembali ke lapangan saja, Kak."

Sano mengerut alis bingung. Sejurus dengan Kiran yang terus melangkah mundur, ia mengurangi jarak mereka dengan melangkah maju. Ada yang terasa janggal dengan ekspresi Kiran. Kenapa ia terlihat sangat gelisah? Apa yang membuatnya setidak ingin itu masuk ke ruang kesehatan?

"Aku sudah bilang, kamu harus diperiksa. Apalagi jelas-jelas kamu kesakitan. Punggungmu sakit kan? Kenapa malah bilang tidak?" Sano memojokkan Kiran hingga ke ujung, dinding beton kelas menjadi penghalang Kiran untuk pergi lebih jauh. "Kamu bukan boneka, bisa merasakan sakit dan berhak mendapatkan pengobatan karenanya. Kenapa harus disembunyikan sampai seperti itu?"

Kiran meringis ketika punggungnya menyentuh dinding. Sano jadi semakin tidak tega. Sekali lagi, ia tangkap tangan yang lebih kecil dari miliknya itu. "Ayo, ke ruang kesehatan. Sekarang juga."

Betapa terkejutnya Sano ketika Kiran malah menepis tangannya kuat-kuat. Wajah gadis itu kelihatan frustasi, tangan kirinya memegang bagian tangan kanan yang tadi ia sentuh, lalu mencengkeramnya kuat. Kepala langsung ia tundukkan saat mata mereka bertemu. "Aku bilang aku tidak apa-apa ... kenapa malah memaksa?"

Sano terdiam. Ini pertama kalinya ia melihat keanehan sikap Kiran ini. Dirinya yang dikenal memiliki sifat lembut malah menolak bantuannya mentah-mentah. Dan lagi, rasa takutnya terhadap ruang kesehatan sangatlah terasa janggal. Namun begitu, jika Kirannya sendiri yang menolak, ia tidak tahu lagi harus melakukan apa.

Perlu beberapa waktu sampai Kiran kembali melanjutkan, "Aku tidak apa-apa. Sakit ini bukan karena Kakak, jadi tidak perlu merasa bersalah."

Kiran mengambil langkah menjauh. Arahnya menuju gedung kelas dua. Sebelum ia benar-benar pergi, gadis itu berbalik dan menampilkan sebuah senyum manis yang lagi-lagi berhasil membuat Sano merasa curiga. Terasa janggal, dan dipenuhi kegelapan.

"Dan dari mana Kakak tahu ... kalau aku bukan boneka?"

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang