PINTU DIBUKA dengan gerakan lamban diikuti dengan masuknya seorang gadis ke dalam kamar bernuansa biru itu. Gurat wajahnya tidak bagus; bibirnya melengkung turun, matanya kehilangan semangat, dan alisnya juga ikut turun—yang menandakan ia tak mendapatkan kejadian yang benar-benar baik hari ini.
Dia meletakkan tas di atas meja belajar, melepas seragam hitam pencak silatnya dengan gerakan lemah, dan membiarkan kain itu bertebaran di lantai hingga hanya menyisakan baju tanpa lengan berwarna putih dan celana pendek selutut di tubuhnya. Kakinya menyeret tubuh menuju kasur—dan dengan sisa kekuatannya—menjatuhkan tubuh ke dalam posisi tidur tengkurap dengan sebuah heralaan napas panjang dan melelahkan setelahnya.
Sebuah ringisan kembali keluar dari bibir saat punggungnya kembali terasa nyeri. Merasa tidak beruntung karena kejadian punggungnya yang menghantam semen lapangan dengan kencang padahal belum sembuh total dari hukuman ayahnya itu. Dan hasilnya, sepertinya gadis itu harus tidur dengan posisi dada terhimpit yang membuat sulit bernapas ini lagi, dalam beberapa hari ke depan.
Sial sekali baginya.
Kiran mengembuskan napas setelah menyadari tidak ada gunanya menyumpah sekarang. Dia sendiri yang menyanggupi keinginan pelatihnya untuk melihat pertandingan dirinya melawan Sano—meskipun desakan teman-teman seperguruannya yang menjadi alasan utama ia tidak bisa menolak, tapi ya tetap saja. Kiran juga menjadi dalang dari ketidakberuntungan ini.
Ia menenggelamkan kepalanya dalam-dalam pada bantal empuk. Kepalanya terasa sakit dan berdenyut, setiap inci tulang di tubuhnya terasa hampir remuk, dan telapak kakinya seperti sedang ditikam ribuan jarum kecil tak terlihat.
Beginilah akibatnya kalau ia melakukan latihan terlalu sering dalam seminggu—dan ia melakukannya pada minggu ini, karena musim hujan sudah dimulai. Sayangnya, ayahnya bahkan tidak akan mau peduli bagaimana keadaan tubuhnya sekarang. Jadi tidak ada yang bisa Kiran lakukan selain memaksa diri melakukan semuanya.
Meski matanya terasa berat dan ia hampir saja jatuh tertidur, Kiran kembali memaksa tubuhnya untuk bangun setelah beberapa menit tengkurap. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dan kembali terdiam untuk mengumpulkan energi. Kiran tidak boleh tertidur sekarang. Tidak sebelum membersihkan diri, karena itu adalah aturan di rumah ini.
Bersamaan dengan tatapan matanya yang jatuh ke arah tangan, Kiran tidak bisa menghentikan diri untuk menghela napas sekali lagi. Apa yang baru saja ia lakukan hari ini? Kenapa ia malah membiarkan Sano melihat ekspresinya dan mengatakan hal-hal yang tidak perlu—pada orang yang bahkan hanya ia kenal dari sebuah ekskul?
Tangannya kembali meremas bagian tangan yang sebelumnya dipegang laki-laki itu. Ia gigit bibirnya saat kembali mengingat sensai asing yang ia rasakan saat Sano menarik tubuhnya menuju ruang kesehatan. Hangat. Sesuatu sensasi yang hanya bisa kau dapat ketika orang yang melakukannya memiliki niat positif saat melakukannya. Sano benar-benar khawatir. Genggaman itu sangat berbeda dari genggaman yang selama ini diberikan ayahnya.
Apa karena itu Kiran jadi melemah?
Kiran menghela napas sambil menggeleng. Siapa dirinya hingga berani memikirkan hal semacam ini? Hal semacam itu tidak akan terjadi pada hidupnya—apalagi jika seluruh hal yang ia lakukan masih berada dalam penguasaan ayahnya.
Apalagi, setelah ia melawan Sano, dia satu hal: Kiran masih terlalu lemah. Melawan kekuatan laki-laki yang berbeda satu tahun dengannya saja dia masih belum bisa, bagaimana ia akan bisa keluar dari jeratan ayahnya? Dia masih perlu banyak berlatih. Menjadi kuat. Dan akhirnya, membalaskan semua rasa sakit yang sudah ia terima sampai saat ini.
"Tidak ada waktu … untuk hal yang tidak penting seperti itu. Aku harus fokus." Kiran mencoba membenarkan lagi pikirannya, mengambil sebuah napas dan mengisi seluruh ruang di rongga paru-parunya, lalu akhirnya bangkit dari kasur perlahan dan menuju ke depan cermin—dekat tempat di mana ia meninggalkan seragamnya.
Kiran pandang pantulan tubuhnya dari cermin. Rambut pendeknya berantakan, wajahnya masih terlihat sangat lemas dan kusam. Dibalik tatapan kosong yang mencoba untuk fokus pasa tujuan hidupnya sekarang, ia dapat merasakan sebuah kekhawatiran bertambah dalam pikirannya.
Kiran telah memperlihatkan sesuatu yang seharusnya tidak diperlihatkan. Bagaimana ia akan menghadapi Sano setelah ini? Bagaimana kalau laki-laki itu mengatakan sikap anehnya pada teman-temannya yang lain?
Kiran mendecak frustasi dan akhirnya berbalik ke arah kamar mandi setelah memungut seragamnya. "Apa yang harus aku katakan … di pertemuan kita selanjutnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
liquid: get your revenge || end
Mystery / Thriller15+ Perasaan tidak diperlukan, apalagi nurani. Cukup lakukan seperti yang dia inginkan; kisah ideal yang penuh sandiwara. Sembunyikan 'dirimu' yang asli. Karena yang perlu kau lakukan hanyalah mengikuti benang takdir buatan Dia yang memegang kendali...