GADIS ITU berjalan di tengah hutan dengan isak tangis. Tubuhnya kelelahan dan perutnya sudah meronta karena lapar, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain berjalan lebih jauh, berharap ada pemukiman—atau paling tidak sebuah rumah yang dapat ia mintai makan malamnya barang sedikit.
Ia telah dibuang orang tuanya. Sejak panen di desa mereka telah gagal total, setiap orang kehilangan kemanusiaannya dan hanya mementingkan diri sendiri. Dirinya yang dianggap hanya sebagai penghabis pasokan makanan langsung disingkirkan ke hutan. Persetan dengan hubungan darah dan kasih sayang, semua itu terkalahkan oleh rasa takut akan kematian.
Suara angin yang menggerakkan dahan pohon, suara kayu yang terinjak di tanah oleh kakinya sendiri, semua itu berhasil membuatnya tersentak setiap sepuluh detik sekali. Ia takut. Apalagi ada rumor yang mengatakan kalau ada seorang psikopat yang tinggal di tengah hutan, menculik dan menjadikannya sebagai makanan bagi siapa pun yang berani menampilkan diri di depannya.
Gadis itu kembali terisak. Hidupnya mungkin berakhir di sini. Kalau bukan karena psikopat itu, ia mungkin akan mati kelelahan dan kelaparan. Tidak ada gunanya lagi berusaha.
Gadis itu berhenti berjalan saat melihat sebuah rumah kecil dari kayu dengan lampu menyala di depannya. Perasaan tidak nyaman segera menyergap, bulu kuduk pun berdiri. Ia tahu. Ada seseorang yang berdiri di belakangnya saat ini.
"Hei gadis manis, kenapa berjalan di tengah hutan seperti ini sendirian?"
Gadis itu tersentak, berbalik dan mendapati seseorang dengan kapak besar hampir saja membuat tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Mengandalkan refleks, ia segera menghindar dan mundur beberapa langkah. Merasakan jantungnya berpacu layaknya gendang dalam pesta dan air mata yang kembali deras mengucur.
Namun begitu, ketika melihat senyum yang diperlihatkan laki-laki itu, seluruh keinginan untuk bertahan hidup menciut bersamaan dengan kakinya yang melemas. Gadis itu terduduk. Tangisnya menjadi. Ia ingin segera lari, tapi tubuhnya tidak mau menurut.
"Wah! Hebat juga kamu bisa menghindar! Kamu gadis yang menarik! Hm, bagaimana kalau kita potong kakimu dulu agar kamu tidak bisa kabur?"
Gadis itu berteriak. Saat sebuah ayunan kembali di arahkan ke arahnya. Dia segera menutup mata, melindungi kepalanya dengan tangan lalu merendahkan tubuh dan bersiap dengan rasa sakit yang akan diterima kakinya.
Satu. Dua. Tiga.
Aneh. Meski sudah beberapa detik berlalu, ia tidak merasakan sakit itu. Ia lalu menengadah dan mendapati seorang laki-laki sudah berada di depannya dan melindunginya. Psikopat itu sudah terjatuh di tanah, kapaknya telah terlepas dari tangan dan berada di tanah beberapa meter darinya—sepertinya terjatuh saat laki-laki di depannya melakukan sesuatu untuk menyelamatkan gadis itu.
"Kamu tidak apa-apa?"
Gadis itu mengangguk, lalu menggeleng. Merasa bingung lalu kembali terisak. "Aku tidak tahu. Meskipun sekarang aku tidak apa-apa, aku mungkin akan mati kelaparan atau diterkam hewan buas dalam beberapa hari ke depan."
Laki-laki itu membantunya berdiri. Memberikannya sebuah sapu tangan lalu menepuk pundaknya beberapa kali. "Kalau begitu bersyukurlah karena masih bernapas sekarang. Dan untuk masalahmu yang satunya … aku bisa membantumu. Tapi tidak gratis—tenang, aku bukan meminta uang, aku hanya ingin kamu membantuku sebagai balasan."
Gadis itu menghapus air matanya. Merasakan lebih tenang sekarang, "Membantu apa?"
"Ayahku memiliki beberapa rumah dengan peternakan di jjung hutan ini. Namun, pamanku malah mengambil hak yang seharusnya jatuh kepadaku setelah ayah meninggal." Laki-laki itu menghela napas, "Aku harus mengambil kembali tanah itu. Tapi kekuatanku sendiri saja tidak akan cukup."
"Eh? Tapi … aku juga tidak bisa beladiri sama sekali. Bagaimana cara aku membantumu?"
"Aku akan mengajarimu. Dua akan lebih baik dari satu, bukan? Jadi bagaimana?"
Awalnya gadis itu ragu. Yapi ia juga tidak dalam keadaan memiliki banyak opsi untuk diambil hingga ia mengangguk setuju.
Setelahnya, akhirnya kedua orang itu bermalam di hutan selama si laki-laki mengajari gadis itu cara bertarung. Mereka makan dari hasil buruan, minum air dari aliran sungai, dan berhasil bertahan hidup dalam waktu cukup lama.
Di hari mereka mendatangi rumah itu, mereka berdua dipaksa melawan belasan orang yang memiliki senjata tajam. Namun begitu, mereka berhasil mengalahkannya dan mengambil peternakan juga rumah milik ayahnya.
#
"Seperti yang terlihat, naskah ini masih setengah jadi. Tapi aku sudah bisa membayangkan, saat melawan psikopat, saat mereka berlatih, dan saat akhirnya berhasil mengalahkan orang-orang dan merebut kembali rumah itu—kita bisa gunakan praktek silat di sana. Dengan begini 'drama-bela diri' yang sudah kita setujui bisa terlaksana."
Gadis itu menjelaskan kepada lima orang lainnya yang sedang duduk melingkar. Sano, salah satu yang berada di sana sebenarnya tidak benar-benar memperhatikan penjelasan itu.
Ia bisa menyerahkan urusan penampilan pentas seni ekskul ini pada ketua. Dia hanya perlu mengikuti perintahnya saja, hingga ia memilih memperhatikan setiap gerik gadis itu dengan seksama. Kiran. Gadis yang awalnya terlihat sebagai figur gadis impian, sejak kejadian hari itu kelihatan sangat misterius bagi Sano.
"Dan dari mana Kakak tahu ... kalau aku bukan boneka?"
Apa maksudnya itu? Apa Kiran ingin bilang kalau dia adalah boneka? Tapi kenapa? Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya, dan sama sekali tidak mendapatkan titik terang hingga sekarang.
Sano sempat ingin bertanya bersamaan dengan pernyataan maafnya beberapa hari lalu. Namun, gadis itu kelihatan tidak ingin membahasnya. Dia terus mengalih pembicaraan, dan itu sangat mencurigakan bagi Sano.
Kalau dilihat lagi juga, Kiran memang kelihatan seperti boneka. Well, dia manis—tapi bukan itu. Dia kelihatan terus tersenyum, semua perbuatannya kelihatan agak dipaksakan. Seakan … ia ingin membuat orang lain menganggapnya, ya begitu. Si boneka cantik. Gadis baik hati yang disukai semua orang.
Tapi bagaimana kalau sebenarnya itu hanyalah sebuah kedok? Bagaimana kalau—
"Lihat, Sano lagi-lagi salfok dan malah memperhatikan Kiran!"
"Haduh, aku bahkan tidak yakin ia mendengarkan rencana pensi ini."
Sano mengerjap lalu memperhatikan sekitar. Keempat orang yang sebelumnya fokus pada kertas berisi naskah buatan Kiran berakhir melihat ke arahnya dengan senyum mengejek. Ia mendengkus, berusaha tidak peduli dan malah menatap ke arah Kiran yang kelihatan tidak nyaman tapi tetap berusaha tersenyum.
"Kalau sudah begini, kita buat mereka jadi pemeran utamanya saja. Lagipula, tidak ada yang lebih cocok dari mereka."
"Eh? Tunggu, Kak. Menurutku masih banyak yang lebih baik dari—"
"Boleh juga. Biar aku dan Kiran yang jadi pemeran utamanya."
Yang lain mulai bersiul, heboh dengan keputusan satu pihaknya. Sedangkan Kiran, terlihat keberatan tapi tidak bisa menolak. Sano ikut tersenyum. Ada banyak hal yang tidak ia tahu tentang gadis itu. Ia ingin memperhatikannya lebih lama—di jarak yang dekat seperti ini. Karena itu, ia tidak mungkin melewatkan kesempatan emas untuk berlatih drama bersama.
Setelahnya, semua kembali membahas peranan lain yang harus diisi. Sano memperhatikan Kiran lagi, dan tanpa sadar, ia menantikan rencana drama untuk pentas seni ini. Ia ingin segera berlatih. Ia ingin segera memperhatikannya lebih banyak. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Kiran.
Agaknya Sano terlalu terbawa suasana. Ia mungkin tidak tahu ada ungkapan yang mengatakan bahwa rasa penasaran dapat berbalik membuatnya celaka.
______
Insprirasi cerita dongeng: Hansel & Gretel X Hamlet (versi lokal)
KAMU SEDANG MEMBACA
liquid: get your revenge || end
Mystery / Thriller15+ Perasaan tidak diperlukan, apalagi nurani. Cukup lakukan seperti yang dia inginkan; kisah ideal yang penuh sandiwara. Sembunyikan 'dirimu' yang asli. Karena yang perlu kau lakukan hanyalah mengikuti benang takdir buatan Dia yang memegang kendali...