liquid: menyelamatkan dia yang tidak ingin diselamatkan

34 13 0
                                    

"Ingat, ya. Benda kecil ini akan langsung tertempel di manapun jika Kakak melepaskan penutupnya. Hal yang menjadi masalah sekarang adalah mencari tempat meletakkan benda itu; harus tanpa titik buta, tapi juga tidak mudah disadari keberadaannya."

Pemuda dengan mata berbinar tak percaya itu mengamati benda hitam kecil—yang bahkan tidak sampai sebesar jari telunjuk—di tangannya itu. Mulutnya terbuka, masih merasa tidak yakin bagaimana seorang gadis berumur tiga belas tahun bisa membawa alat secanggih dan semahal ini padanya tanpa sedikitpun rasa takut. Ia akhirnya melirik dan berujar penuh kehati-hatian, "Kamu tidak mencuri alat ini di suatu tempat, kan?"

Gadis berkacamata yang berada di sampingnya itu membalas tatapannya dengan sinis, membuang wajah sekali lagi sembari menghela napas panjang. "Akan lebih aneh lagi kalau seorang gadis tiga belas tahun bisa mencuri kamera pengintai mahal ini tanpa ketahuan sampai sekarang."

Dia membenarkan letak kacamatanya, wajah serius tanpa senyum itu tidak pernah lepas membingkai wajahnya yang tirus, "Ayahku punya banyak alat canggih, dan selalu membiarkanku memakainya."

Sano mengembuskan sebuah helaan napas lega bersamaan dengan melepas kerutan di dahinya. Paling tidak, ia tidak perlu takut akan dikejar-kejar polisi karena melakukan kejahatan untuk sekarang. Walau, ya, entahlah nanti. Karena rencana mereka adalah memasang kamera pengintai itu di rumah Kiran tanpa izin—dan mengabaikan hak privasi orang di rumahnya, rasanya mereka bisa saja ditangkap meski hanya akan mendapat hukuman kecil. Lagipula mereka masihlah anak di bawah umur.

Namun kendati begitu, sepertinya memang inilah jalan terbaiknya. Mereka hanya perlu mencari bukti kekerasan yang dilakukan ayah Kiran dan melaporkannya pada polisi. Meski Kiran bilang ayahnya bisa lepas jika hanya dengan jeratan lemah hukum yang kadang tidak ditegakkan dengan benar oleh oknumnya, pastinya itu lebih baik daripada membiarkan Kiran melakukan semuanya sendiri. Apalagi Sano juga tidak tahu apa yang sedang gadis itu rencanakan untuk melawan takdir, seperti yang ia bilang.

"Aku hanya tinggal masuk ke rumahnya ketika kamu memberi tanda dan memasang ini di tempat yang kamu tunjuk. Aku paham."

Fio segera berdiri, menganggukkan kepalanya dan mengambil napas panjang setelahnya. Ia kembali menatap Sano dari balik kacamatanya dengan wajah serius, "Aku telah membuat janji dengan Kiran hari ini untuk ke rumahnya. Kamu tinggal mengikuti kami tanpa ketahuan. Berhati-hatilah, meski kelihatan santai Kiran itu orang yang sangat waspada."

Sano ikut membangkitkan tubuhnya dan menatap ke arah rerumputan hijau di dekatnya dengan sebuah senyum kecil. Tangannya bergerak untuk meletakkan kamera super kecil itu di dalam tasnya lalu terkekeh, "Aku tahu itu. Kiran memang luar biasa. Aku akan berhati-hati."

Di detik berikutnya, Sano bisa merasakan Fio terdiam dan meliriknya dengan tatapan kesal. Perlu beberapa detik hingga ia sadar tentang alasan dari reaksi itu dan berakhir dengan tertawa canggung. Fio pasti masih menganggapnya sebagai pengganggu Kiran. Kalau saja tidak untuk menyelamatkan Kiran saat ini, sudah pasti Sano akan dilemparkan jauh-jauh karena membuat gadis itu kesal.

Sano akhirnya mengabaikan tatapan itu dan memalingkan wajahnya, "Kalau begitu aku akan sembunyi terlebih dahulu."

Tubuhnya bergerak cepat menuju semak-semak di dekat gerbang sekolah. Sebenarnya akan lebih efektif dan aman kalau Sano langsung saja ke rumah Kiran agar tidak ketahun. Tapi sayangnya ia sama sekali tidak tahu perumahan tempat Kiran tinggal.

Saat melihat gadis berkacamata itu menghilang dari pandangan, Sano tidak bisa menahan diri untuk menghela napas, "Posesif sekali. Sepertinya dia masih tidak merelakan aku mendekati Kiran—ah, bukan berarti aku memang ingin mendekatinya, sih. Aku hanya tertarik—maksudku, bukan tertarik dalam artian semacam itu …."

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang