liquid: jadi apa yang dia inginkan

86 24 0
                                    

DI DALAM CERMIN itu, ia melihat tubuh seorang gadis tanpa sehelai kain pun yang menutupi bagian atas tubuhnya. Jika ia membalikkan tubuh, lalu menengok ke arah cermin sekali lagi, ia dapat melihat bekas berwarna merah kebiruan cukup besar di punggungnya.

Ia tak berharap lebih. Kejadian amukan kemarin, dan rasa sakit yang ia rasakan selama menangis dalam diam di malam harinya bukanlah main-main. Ditambah dengan kakunya tubuh setelah tertidur dengan posisi tidak benar, rasanya ia ingin tiduran saja seharian—atau mungkin mengubur diri dalam tanah dalam-dalam menjadi pilihan lebih baik.

Ia meraup napas perlahan. Memperhatikan bentuk dan letak lebam itu dengan seksama dengan mata tanpa harapan. Letaknya tepat di tengah-tengah, bentuknya memanjang hingga memenuhi punggung. Pasti memakai rotan, pikirnya. Sebelumnya ia terlalu dilingkupi rasa takut dan gemetar. Rasa sakit dan perih dipadukan dengan penyesalan. Ia jadi tidak tahu lagi dengan apa, atau berapa kali ia dipukul.

Sebuah embusan napas perlahan dikeluarkan bersamaan dengan tangan yang mulai memakai baju olahraga berwarna abu-abu perlahan. Kenyataan bahwa ia harus melakukan latihan lagi meski dalam keadaan sakit sudah tak lagi membuatnya bergetar. Dia memang tidak punya iba dan kasihan untuk dibagikan, bahkan untuk anaknya sendiri. Jadi, jika Kiran diizinkan tidak latihan hari ini, itu malah terlihat lebih mencurigakan.

Kiran memperhatikan wajahnya di cermin. Mata yang terlihat kosong, bibir yang datar tanpa ekspresi; penuh keputus asaan. Mungkin di dalam dirinya, ia sudah menyerah. Melawan hanya akan memberi lebih banyak luka, meski sebenarnya ide tentang kematian tidaklah begitu buruk di pikirannya. Hanya saja, tidak sekarang. Belum. Ada yang perlu ia lakukan sebelum itu, karenanya ia harus tetap bertahan menjadi boneka kesukaan orang itu.

Sekali lagi, Kiran membuka mulut dan meraup napas sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan tangannya yang mulainmengikat rambut pendek itu dalam satu ikatan, sebuah senyum melengkung tergurat manis di bibirnya.

Tersenyum, jangan melawan.

Jika disuruh melakukan, jangan membantah.

Jika diperintah, langsung laksanakan.

Itulah aturan mainnya. Ingat baik-baik, dan jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali.

"Kamu ... bukan aku. Tapi sosokmulah yang disukai pria itu, jadi akan kuserahkan tubu ini padamu."

Kiran memperhatikan wajahnya sendiri. Ia cantik, ceria, dan bisa melakukan apa saja. Karena itulah ia jadi yang terfavorit. Tidak seperti kakak dan ibunya yang tidak lagi dapat bertahan, dia masih di sini. Berkat sosok buatan ini.

Bagian yang sulit adalah memanipulasi mata. Rasa putus asa, kesedihan, rasa benci, amarah, kalau kau memperhatikan matanya baik-baik, semua itu dapat terlihat. Cara tercepat melakukannya adalah menghindari kontak mata terlalu lama. Dan itulah yang sering ia lakukan. Lagipula, Kiran tidak yakin orang itu bahkan peduli dengan apa yang ia rasakan.

Satu-satunya hal yang membuat orang itu terganggu hanyalah jika merasakan keinginan untuk melawan perintahnya. Karena itu sebisa mungkin Kiran meredam semua pemikiran itu dalam-dalam di dasar hatinya.

Kiran tahu cara mainnya sekarang: perasaan tidak diperlukan, cukup lakukan seperti yang Dia inginkan—jadilah boneka ideal yang penuh sandiwara.

"Tolong …, selamatkan aku dari ayah."

Bersamaan dengan tubuh yang mulai meninggalkan ruangan, sebuah panggilan dengan suara berat membuatnya memacu langkah lebih cepat. Sebisa mungkin ia hilangkan bayangan rasa sakit yang akan didapatkan selama latihan dengan lebam-lebam di punggung. Ia harus tersenyum, senatural mungkin. Pasti bisa. Memangnya sudah berapa kali ia mengelabui ayahnya?

"Nah begitu, dong. Penuh semangat! Wajahmu sekarang jauh lebih baik dari kemarin. Sepertinya ayah tidak perlu melakukannya dua kali, bukan?" Pria itu menempatkan tangannya pada bahu kanan Kiran. Meremasnya perlahan sembari melebarkan sebuah senyum mengerikan, "Lagipula sayang sekali jika latihanmu harus dikurangi karena keadaan tubuh yang tidak fit, bukan?"

Kiran tersenyum, menyingkirkan rasa sakit yang ia dapat di bahu lalu mengangguk dua kali. Kali ini wajahnya berubah sedikit sendu dan matanya menyipit. Memperlihatkan rasa menyesal di sana. "Maaf untuk yang kemarin, Ayah. Aku tidak akan mengulanginya lagi."

"Bagus! Sekarang lakukan peregangan seperti yang ayah contohkan!"

Kiran terdiam sebentar saat tubuh besar itu berpaling membelakangi dan mulai memperagakan gerakan. Dadanya terasa sesak, namun untungnya, dirinya yang lain dengan cepat menguasai tubuh dan mulai menampilkan sebuah senyuman.

Tenang saja, aku akan menyelamatkanmu. Meski itu berarti aku harus menghapus jati dirimu yang sesungguhnya.

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang