SEBENARNYA, tanpa dijelaskan secara langsung mengenai sistem terbesar yang bernama alam semesta ini, Fio sendiri tahu dirinya tidak lebih dari manusia yang tidak tahu apa pun. Semesta terlalu luas untuk jangkauan kaki dan tangannya yang pendek. Ilmu pengetahuan yang ia miliki tidak lebih dari beberapa butir pasir dari hamparan gurun informasi yang ada. Tidak ada apa-apanya sama sekali.
Dan karena ketidakmampuan itu, ia jadi lemah dan tidak bisa terhindar dari luka. Bukan hanya dirinya, sebenarnya. Namun, 'manusia secara keseluruhan' itu, bisa Fio katakan tanpa ragu, merupakan makhluk yang lemah.
Karena itu sebuah sistem yang membuat satu orang terikat dengan yang lainnya, satu takdir yang bersinggungan dengan lainnya, dan prinsip saling membutuhkan, adalah sesuatu yang tidak bisa ditepis begitu saja oleh manusia mana pun.
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain. Mau sekuat atau sejenius apa pun orang itu. Menyedihkan, tapi itulah kenyataannya.
Barangkali, Fio juga tidak lebih dari anak kecil yang sok tahu dan sok berani. Namun, meskipun tubuh lemahnya ini bisa saja langsung diluluhlantakkan jika terjebak dalam sebuah perkelahian sebenarnya—ia tahu, perasaan melilit di perut dan sesak di dadanya itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa, ia telah mendengar salah satu rahasia terlarang yang menyangkut orang terdekatnya itu.
"Apa kamu tidak ingin melapor pada komisi perlindungan anak atau polisi?"
Saat itu Fio sama sekali tidak berniat untuk menguping percakapan muda-mudi itu. Mereka juga telah melakukan usaha yang baik untuk menyembunyikan fakta itu, dengan memilih berbicara di dekat gudang yang sangat jarang dilalui orang itu. Hanya tidak beruntungnya, saat itu Fio sedang berada di dalam gudang. Mengambil beberapa peralatan sains yang diminta guru IPA mereka, dan tanpa sengaja mendengar seluruh percakapan itu.
Namun, ketika itu, mungkin Fio lah yang merasa tidak beruntung. Di kehidupannya yang penuh ketenangan ini, dia malah menemukan fakta mengerikan yang terjadi pada temannya sendiri.
Mungkin fakta itu telah berhasil menjawab pertanyaan Fio tentang sikap palsu yang ia lihat dari Kiran. Namun rasanya, bayaran yang harus diberikan untuk mengetahui alasan itu terlalu mahal. Karena faktanya, karena informasi itu ia terus merasa terteror dengan perasaan cemas. Ketika Fio makan, tidur, atau mandi—sebuah pertanyaan terus menghujaminya tanpa henti; Kiran masih hidup, bukan?
KPAI. Polisi. Ayah Kiran. Sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya. Hanya dengan informasi itu, rasanya Fio bisa menebak hal yang telah dilewati Kiran selama ini.
Kekerasan. Kekuatan untuk memaksa. Bukan hanya melukai secara fisik, tidak diragukan lagi hal itu telah membuat mental Kiran hancur dan berakhir menjadi dirinya yang sekarang Fio kenal.
Mau dipikirkan bagaimana pun, ini bukan lagi masalah yang bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Apalagi Fio tidak tahu sampai kapan Kiran dapat bertahan menghadapinya seorang diri. Karena itu, akhirnya ia memutuskan; ia akan menyelamatkan Kiran.
Fio membenarkan letak kacamatanya ke pangkal hidung. Kakinya bergerak cepat menuju gedung kelas sembilan dan menunggu di samping pintu keluar kelas ketika bel pulang berbunyi. Ia tahu siapa yang Kiran ajak bicara saat itu. Ia adalah pemuda yang cukup populer di kalangan perempuan, dan sering digosipkan memiliki rasa pada Kiran.
"Kak Sano, ada waktu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan."
Terdengar suara siulan dari teman-teman pemuda itu. Sepertinya, ia sudah terbiasa mendapatkan ajakan begitu, sehingga mereka suka menjadikannya sebagai sebuah ejekan. Fio hanya diam saja. Segera setelah ia hanya berdua dengan Sano yang kelihatan bingung, gadis itu mencari tempat di mana mereka bisa berbicara tanpa didengar orang lain.
"Ada apa, ya?"
Sano berkata dengan senyum canggung. Kalau dipikir-pikir lagi, mereka tidak pernah berbicara secara langsung sebelumnya. Dan Fio pun tidak pernah merasa ia harus melakukannya. Ia menghela napas. Membenarkan posisi kacamatanya, lalu menatap tajam dari balik lensa transparan itu. "Namaku Fiona, kelas VIII B. Aku sahabat dari Kiran, gadis yang selalu Kakak ganggu itu."
Mungkin ucapannya terdengar tidak sopan—tapi ia tidak peduli. Selama ini Fio mungkin hanya mengamati dari jauh tanpa memberi komentar apa pun, tapi ia sangat tahu laki-laki itu telah membuat Kiran tidak nyaman. Mungkin karena pemuda itu lebih kuat dan lebih tua satu tahun, membuatnya merasa bisa melakukan apa pun semaunya. Jadi kini, saat akhirnya Fio berhadapan langsung dengan Sano, rasa kesal itu segera menguar tanpa bisa ditahan.
Sano tidak membalas dan menunjukkan wajah terkejut. Fio mendengkus, melipat tangannya di depan dada dan membuang wajahnya ke samping sebelum berkata, "Aku ke sini ingin menanyakan tentang hal yang kalian bicarakan di samping gudang, tiga hari lalu."
Untuk beberapa saat, Fio bisa melihat wajah Sano yang terkejut itu bertambah dengan rasa gelisah. Mulutnya terbuka lalu tertutup lagi dengan napas yang tidak beraturan. Sano segera memalingkan wajahnya ketika ditatap dengan intens oleh Fio.
"Kenapa bertanya padaku? Kalau kamu memang sahabatnya, seharusnya kamu bertanya langsung pada Kiran."
Fio tidak berkutik. Ia tahu pasti akan sulit menanyai Sano, apalagi ia sudah berjanji untuk tidak membocorkan apa pun. Gadis itu menghela napas, melepaskan kacamatanya lalu menatap pemuda di depannya dengan ekspresi yang melemah. "Saat kalian berbicara, aku berada di dalam gudang dan mendengar semua percakapan kalian. Tapi aku memerlukan penjelasan lebih."
Fio meletakkan kacamata itu pada kantong sakunya sebelum melempar pandangan ke arah bawah. "Aku ... tidak bisa menanyai langsung. Kalau memang rahasianya sebesar itu, sudah pasti Kiran akan menutup mulutnya sampai mati."
Suara Fio bergetar. Hanya dengan membayangkan temannya dalam bahaya, ia bisa merasakan kekhawatiran membuncah keluar dan membuat ia segera mendecak. "Kumenangis … hanya dengan membayangkan apa saja yang telah Kiran lewati selama ini. Aku ingin menyelamatkannya."
Sano tertegun mendengarnya. Namun, setelah ia menutup mata dan membuang wajah, ia hampir berteriak dengan nada putus asa, "Tapi aku tidak bisa! Aku sudah berjanji akan menutup mulutku. Bisa-bisa aku dibencinya karena tidak bisa dipercaya untuk kedua kalinya!"
"Siapa yang peduli dengan hal itu?"
Fio mendekat dan berhasil membuat Sano mundur beberapa langkah. Ketenangannya telah hilang sepenuhnya. Ekspresi marah telah memenuhi wajah Fio saat mengatakan, "Jadi apa menurutmu mengabaikan penderitaannya untuk saat ini jauh lebih baik? Kejam sekali. Bukan hanya menyakiti Kiran, kamu yang memilih diam sekarang merupakan bukti betapa kejamnya dirimu atas diriku."
Sano terlihat terkejut, tapi ia hanya bisa memalingkan wajah dan tidak membalas apa pun. Fio terdiam. Tangannya mengepal keras dan suaranya bergetar saat berkata, "Baiklah, aku mengerti. Kakak berhasil mempertahankan janji itu. Selamat."
Fio menghela napas gusar saat kembali memasang kacamatanya, "Tanpa bukti, aku tidak bisa membantu Kiran sendiri. Mungkin ... tinggal menunggu waktu sampai Kiran kehabisan kekuatan untuk bertahan."
Fio segera berbalik tanpa mengatakan apa pun lagi. Berencana meninggalkan Sano dengan wajah syok tidak kepalang di wajahnya. Tepat saat kakinya ingin berjalan menjauh, tangan pemuda itu kembali membuatnya berhenti.
Ketika melihat wajah Sano, Fio mencoba untuk menyembunyikan senyum kemenangan di bibirnya.
Pemuda itu menatap dengan mantap. "Baiklah, akan kuberi tahu. Tapi kamu harus berhasil membuat Kiran terbebas dari neraka yang telah membelenggunya selama ini."
Fio tersenyum dan membenarkan letak kacamatanya. "Tentu saja. Lagipula, aku adalah sahabatnya."
_______
A/N: Ada yang merasa percakapannya ada yang lebay di beberapa tempat? Tenang saja. Aku juga. Tema kali ini benar-benar bikin aku mutar otak. Jadi tolong abaikan bagian percakapan yang kelihatan dipaksakan itu, ya :"))
Btw tema hari ini: buatlah sebuah tulisan yang memuat lirik berikut. "Kumenangis, membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku."
//nangis di pojokan// gak sesuai banget sama tema dark cerita ini!!
KAMU SEDANG MEMBACA
liquid: get your revenge || end
Tajemnica / Thriller15+ Perasaan tidak diperlukan, apalagi nurani. Cukup lakukan seperti yang dia inginkan; kisah ideal yang penuh sandiwara. Sembunyikan 'dirimu' yang asli. Karena yang perlu kau lakukan hanyalah mengikuti benang takdir buatan Dia yang memegang kendali...