liquid: tidak cukup berani

43 13 0
                                    

[15+]

KETIKA GADIS itu terbangun, ia menemukan dirinya berada di pinggir pantai. Ujung kakinya terasa dingin saat ombak berlomba-lomba menuju permukaan, dan kulit tubuhnya yang tidak terlindungi baju terusan berwarna biru selutut itu terasa hangat dan berpasir.

Kiran menengok ke sekitar. Ia tidak ingat sedang berada dalam kegiatan rekreasi sekolah yang biasa dilakukan setahun sekali itu, atau apa pun yang bisa membuatnya berada di sini. Dan lagi, kalau diperhatikan, ia tidak melihat satu pun orang selain dirinya di sini. Sebenarnya, bagaimana ia bisa sampai berada di sini?

Ia berdiri lalu membersihkan kulitnya yang ditempeli pasir. Ingatannya agak kabur. Ia tidak ingat sebelum berada di sini ia sedang apa. Tidak ada satupun perahu nelayan terpasang di tepi pantai, atau orang-orang yang sedang bermain dengan lautan maupun pasirnya sejauh mata memandang. Sungguh sepi; sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di tempat ini.

Kiran berjalan, tanpa arah. Hanya mengikuti pinggir pantai sambil mencari orang yang mungkin hidup di sini. Membiarkan kaki telanjangnya langsung menapaki pasir kecokelatan yang halus dan hangat. Ia harus mencari seseorang. Ia harus pulang. Ayahnya mungkin sedang mencari. Dan ia tahu membuat ayahnya dalam masalah bukanlah hal baik untuk dilakukan.

Ia terus berjalan, merasakan kecemasan dan gelisah terus bertambah ketika tidak menemukan apa pun padahal telah berjalan sangat lama. Kiran pikir ia sudah berjalan berjam-jam, tanpa mendapat satupun tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Kakinya terasa sangat penat, dan perutnya mengeluarkan bunyi—penanda ia harus mengisinya dengan sesuatu secepatnya.

Kiran terduduk ketika merasakan kakinya sudah mencapai batas. Ia haus, dan tenggorokannya terasa kering. Ini pertanda buruk. Ia bisa pingsan kapan saja jika situasi ini terus berlanjut.

Ia melihat ke sekitar lagi. Di sebelah kanannya, terbentang laut hingga ujung mata memandang. Sedangkan di kirinya, tepatnya di tengah pulau itu, terdapat hutan yang cukup lebat. Ia meneguk ludah, kembali mencoba berdiri dan memutuskan berjalan menuju hutan. Berharap menemukan suku pedalaman yang tinggal di sana.

Medannya kini bertambah sulit dengan adanya ranting jatuh dan akar besar yang berada di tanah. Ia juga harus waspada jikalau ada hewan buas yang tiba-tiba mengincar. Setelah merasa hampir tidak sanggup berjalan lagi, akhirnya Kiran menemukan sebuah rumah kecil. Kiran mengetuk rumah itu dengan penuh harap, dan setelah menunggu beberapa detik pintu rumah itu terbuka.

"Kamu akhirnya datang, Kiran."

Kiran membelalakkan mata lalu mundur selangkah. "Kakak …? Kenapa Kakak ada di sini?"

Gina tersenyum lalu memberikan ruangan di depan pintu masuk. "Masuklah dulu. Kamu kelelahan, bukan?"

Kiran masuk dengan dada yang berdegup kencang dan rasa cemas luar biasa. Ini terlalu aneh. Dari awal ia terbangun di sini, dan sekarang kemunculan kakaknya yang tiba-tiba, semuanya tidak masuk akal. Meski begitu, ia tahu ia sudah mencapai batasnya. Ia harus istirahat, seperti kata kakaknya. Karena itu ia akan memikirkannya nanti saja setelah mengembalikan energinya.

"Selamat datang, Kiran."

Kiran kembali dikejutkan saat sebuah suara yang familier itu menyapa pendengarannya. Itu ibunya. Ia kelihatan jauh lebih sehat sejak terakhir kali Kiran melihatnya. Senyum kembali terpatri di bibirnya, begitu cantik. Tanpa sadar, air mata meluncur bebas dari pelupuk mata gadis itu.

"Hm? Kenapa malah menangis? Apa kamu terluka selama mencari rumah ini?"

Kiran terisak. Ia tak segera menjawab dan malah mendekat ke arah wanita itu. Tubuhnya bergetar. Tangannya terangkat untuk memegang pipi ibunya. Hangat. Lalu di detik berikutnya, ia segera memeluk erat tubuh itu. Isaknya semakin nyaring, air mata semakin deras mengucur. Ia rindu. Rindu sekali. Setelah melewati hidup seperti di neraka bersama ayahnya, akhirnya ia bisa merasakan kehangatan ini lagi.

Di tengah-tengah isaknya, Kiran menggumamkan sesuatu berkali-kali. "Syukurlah, Ibu dan Kakak baik-baik saja. Syukurlah …." Pelukannya bertambah erat, seakan ia tidak akan melepaskan ibunya lagi dari genggaman.

"Siapa bilang kami baik-baik saja?"

Ucapan itu berhasil membuat tangis Kiran langsung berhenti. Ia melepas perlahan pelukannya lalu kembali melihat ke arah wajah itu. Ibunya masih tersenyum. Begitu pun kakaknya yang berada di samping ibu. Kiran tertawa gugup. "Apa maksud perkataan Ibu tadi …?"

"Mana mungkin kami baik-baik saja setelah diperlakukan begitu, bukan?"

Tubuh Kiran membeku saat melihat darah tiba-tiba mengalir melalui hidung, pelipis, dan bahkan mata kedua orang di depannya. Warnanya yang merah pekat terlihat sangat mengerikan saat meluncur ke pipi, lalu dagu. Dan ketika sudah terkumpul di sana, cairan kental dan hangat itu segera jatuh ke lantai kayu hingga menimbulkan bunyi yang sangat jelas dan bergema.

Napas Kiran memburu. Rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan suara, seperti ada yang mencekiknya. "Ibu …? Kakak …?"

"Kamu bilang akan membalaskan dendam kami … tapi sepertinya kamu cukup suka menjadi anjing penurut di hadapannya."

"A-aku—" Ucapan itu kembali tertahan dan tergantikan oleh sebuah jeritan saat melihat bola mata milik ibu maupun kakaknya terjatuh bersama urat-urat berwarna kemerahannya. Bola mata itu berakhir memantul di lantai seperti bola pingpong, sebelum akhirnya berhenti di dekat kaki Kiran.

Kiran melangkah mundur dengan napas yang semakin sesak. Saat ia kembali kembali melihat ke arah wajah ibunya, ia bisa melihat bagian kosong bekas organ matanya itu berada. Warnanya hitam gelap dan terasa hampa. Darah terus mengucur dan menggenang di lantai. Namun begitu, senyum di bibir mereka malah melebar hingga memperlihatkan gigi yang berjejer aneh.

Ibunya memiringkan kepala, "Jujur saja. Sebenarnya, kamu tidak cukup berani untuk membunuh ayahmu, bukan?"

#

Kiran segera terbangun dengan napas yang memburu. Seluruh tubuhnya telah dibanjiri keringat, dan kepalanya terasa sangat sakit. Ia melihat ke sekitar. Ia sudah berada di kamarnya lagi. Semua itu hanyalah mimpi.

Kiran mengembuskan napas. Pipinya terasa hangat. Saat ia kembali mengingat wajah mengerikan dari ibu dan kakaknya tadi, seluruh pertahanannya runtuh. Kiran menangis.

Perlu waktu cukup lama sampai ia berhasil memenangkan diri. Dan bahkan setelahnya, Kiran tidak bisa kembali tertidur. Perkataan ibunya terus terngiang di kepala.

Jika nanti ia sudah siap untuk melakukannya, bisakah ia benar-benar membunuh ayahnya?

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang