liquid: same smile

35 13 0
                                    

MATANYA MENATAP penampilan anaknya itu dengan senyum bangga. Bagus sekali. Sekarang, lagi, dia akan mendapatkan sebuah alasan untuk diberi pujian dari orang-orang. Anaknya adalah  bintang di lapangan sekarang. Hal itu akan cukup membuat orang-orang di sekitarnya ikut terpana. Buktinya, bahkan sebelum pertunjukan itu selesai, orang-orang di sekitarnya sudah mulai ribut.

“Kiran keren, ya. Padahal kelihatannya anak manis, tapi gerakan silatnya bagus dan terlatih.”

Seorang wanita duluan bercelutuk. Edi segera tersenyum mendengarnya. Tentu saja, bukan senyum lebar yang akan membuatnya kelihatan seperti psikopat—yang sebenarnya lebih cocok untuk menggambarkan isi hatinya saat ini—melainkan senyum penuh wibawa; rendah hati. Ia akhirnya berkata, “Kiran itu, meskipun kelihatan feminin, tapi sebenarnya menyukai bidang olahraga dan beladiri.”

Yang lainnya mulai menyahut, ikut memberi pujian. Saling menambahkan apresiasi, memberi persetujuan.

Dasar bodoh.

Mereka dengan mudah percaya semua yang Edi katakan. Terjebak ke dalam permainan sandiwara yang menyedihkan. Kiran mungkin memang berbakat—dia behasil menjalani latihan keras dan berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir—tapi, ia juga tahu kalau Kiran tidak benar-benar ingin melakukannya. Dialah yang memaksanya hingga gadis kecil itu bisa mencapai titik ini.

Beladiri adalah pengetahuan dasar yang harus dimiliki jika ia ingin memasukkan Kiran dalam satuan polwan ataupun tentara nanti. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu; dirinya yang gagal masuk akademi polisi karena tubuh yang tidak mencapai tinggi standar dan tidak pula lulus dalam tes ketahanan tubuh.

Karenanya, Edi melatih Kiran sejak ia sangat kecil. Ia akan membiarkan anaknya mengambil alih keinginan itu, dan ia hanya perlu melihat kesuksesan Kiran dari belakang nanti. Hal itu terdengar lebih menyenangkan baginya sekarang.

Dan lagi, sebenarnya, Edi tidak benar-benar gila pujian. Dia tidak peduli pada omongan manusia yang bahkan tidak ada bedanya dengan hewan itu; mengandalkan emosi untuk melakukan semua hal.

Namun, ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa mudahnya manusia terperdaya dengan apa yang ia lihat, mudahnya menaruh kepercayaan hanya dengan beberapa kata manis dan sikap palsu, merupakan sebuah hiburan kualitas tinggi bagi Edi.

Bisa melihat orang-orang itu tidak memakai otaknya padahal sudah diberi percuma, membuatnya ingin selalu tertawa; kelucuannya bahkan jauh melebihi stand up comedy mana pun yang pernah ia dengar.

Ketika pertunjukan Kiran selesai, anak gadisnya itu segera berjalan menghampiri dengan senyum lebar. Edi tidak peduli jika sebenarnya Kiran hanya berpura-pura dengan sikap manisnya itu; dia malah senang.

Anaknya dapat menyerap apa yang Edi lakukan dengan cepat, dan hal itu sangatlah bagus. Kiran pasti akan tumbuh dengan otak yang jauh lebih cerdik (cenderung licik, mungkin) dari anak lainnya. Mungkin, suatu hari nanti, mereka akan bisa menertawakan kebodohan manusia ini bersama-sama.

Karena, hanya orang gila yang bisa memahami orang gila lainnya.

Ya, gila. Edi sangat tahu, di dunia tempatnya tinggal ini, sosok sepertinya—dengan pemikiran dan perilaku sepertinya—hanya akan dianggap sebagai psikopat gila dan tidak waras. Tapi, lalu kenapa memangnya? Menurutnya itu bukanlah masalah. Karena, sama halnya manusia lain yang bisa hidup seperti keinginan mereka, ia yakin orang gila sepertinya pun begitu.

Percakapan bersama wali murid lainnya adalah hal yang menyenangkan untuk didengar. Jadi tanpa sadar, pentas yang menampilkan pertunjukan tiap ekskul hari itu telah selesai dilakukan. Setelah acara itu, siswa-siswi diizinkan pulang ke rumah. Tapi, bisa juga tetap di sana untuk melihat hiburan lainnya. Anaknya yang begitu penurut, segera menghampirinya setelah mengambil tas dan mengganti pakaian.

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang