liquid: never end hell

43 13 0
                                    

[15+]

ADA YANG aneh dengan isi kepalanya.

Sesuatu terasa bergema, mengisi relung dalam kepala. Dadanya terasa sesak dan membuatnya ingin berteriak. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya selain rintihan tanpa suara. Seluruh tubuhnya terasa terbakar sedikit demi sedikit—hingga rasanya ia ingin mengoyak, mencabik, dan menguliti tubuhnya sendiri agar sakit itu segera hilang.

“Ayah kenapa? Apa ada yang sakit?”

Sebuah suara membuatnya tersadar di tengah-tengah penderitaan tanpa akhir itu. Ia melihat ke bawah. Anak kecil dengan sebuah mainan di tangan sedang menatap khawatir. Itu anaknya; Edi.

Umurnya mungkin baru lima tahun saat itu, masih terlalu belia. Namun sayang, anak itu tidak datang di waktu yang tepat. Ia merasakan kepalanya kembali sakit. Suara mengerikan terasa mendengung dalam kepalanya, hingga ia terduduk dengan posisi menutup kedua gendang telinga. Seakan jantungnya diremukkan dalam satu gumpalan, ia merasakan tubuhnya melemah, dan dadanya kembali sesak.

Suara itu mendengung dan menerornya dengan rasa pening yang amat sangat.

Hancurkan.

Seakan suara dalam kepalanya itu adalah sebuah perintah, ia mengambil tangan anaknya. Menyeretnya ke dalam sebuah ruangan tanpa peringatan terlebih dahulu, mengikat tubuh kecil itu paksa di sebuah bangku, dan mulai menyiksanya.

Pria itu tertawa saat tangannya bergerak cepat, memberikan sayatan pada kulit anak yang merupakan darah dagingnya sendiri. Hanya saat itulah, dengungan dan semua rasa sakit yang ia terima di sekujur tubuh hilang. Rasanya seperti di surga.

Darah yang terciprat ke lantai, tangan, dan baju—semua itu seperti obat termanjur untuk mengusir rasa sakitnya. Teriakan anaknya yang menggema dalam ruangan itu adalah melodi terindah yang pernah ia dengar, dan tangisan istrinya yang meminta ia berhenti terasa begitu menyenangkan untuk didengar.

Barang kali pria itu telah kehilangan kewarasan, setelah terobsesi untuk menghilangkan suara itu dari kepalanya.

Ia tidak cukup ingat hal yang terjadi setelahnya. Hari demi hari, suara itu terus memerintah; menyuruhnya untuk menghancurkan dan merusak semuanya. Dan ia mengikuti suara itu tanpa berpikir dua kali, demi menghentikan seluruh sakit yang mendera tubuh—dan menggantinya dengan kepuasan hakiki saat melihat darah, daging yang terkoyak, dan suara teriakan dari kerongkongan kering menggema di telinga.

Sampai akhirnya, suatu hari, tiba-tiba hidupnya berhenti berputar. Sang istri melaporkannya pada polisi dengan tuduhan kekerasan pada anak. Keberadaa Edi—dengan banyak bekas luka—dapat menjadi bukti konkret, hingga persidangan hukumannya berjalan tanpa banyak drama.

Pria itu mati tanpa pernah melihat anak dan istrinya lagi setelahnya. Karena mereka bahkan tidak pernah berniat untuk mengunjunginya dalam jeruji besi dingin itu. Terlalu mengerikan. Sanga ibu yakin, melihat wajah sang ayah pasti hanya akan membangkitkan rasa traumatis untuk anaknya.

Kini, cerita berpindah pada anak itu; Edi. Dibesarkan dengan luka dan trauma yang tidak pernah hilang, membuatnya memiliki keinginan untuk menyiksa binatang—sejak umurnya sangat kecil. Psikiater saja tidak akan berhasil membuatnya bisa kembali menjadi Edi yang ibunya kenal; apalagi dengan kenyataan ternyata anak itu sangat pandai berbohong. Dinyatakan sembuh dan keluar dari pengamatan si psikiater dapat dengan mudah dilakukannya.

Pada akhirnya sang ibu hanya bisa memalingkan wajah, berpura-pura tidak melihat—atau mendengar apa pun. Ia tidak bisa menghentikan anaknya; dia sama sekali tidak tega. Merasa tak berdaya ketika mata anak itu menatapnya, karena ia akan teringat betapa mengerikan hal yang telah dilewati oleh anak itu.

Meski begitu, Edi tetap tumbuh besar. Melindungi rahasia terbesarnya dengan balutan senyum manis. Hidup tanpa kesusahan dan dijauhi orang lain—ia telah belajar banyak dari ayahnya; cara tersenyum dan memanipulasi orang lain.

Ia, dengan otak umur awal belasan tahunnya itu, berhasil menarik sebuah kesimpulan sederhana; manusia hanya akan mempercayai apa yang dilihatnya. Kalau begitu, dia hanya perlu menjadi baik di hadapan mereka, bukan?

Dengan pemikiran itu di kepala, Edi terus hidup dan menjadi dewasa. Ia dengan mudah menemukan tambatan hatinya; seorang istri cantik dan telaten melakukan banyak hal, juga memiliki dua anak dalam periode lima tahun pernikahan.

Kehidupan awalnya terasa menyenangkan; dia menyayangi keluarga kecilnya. Selama mereka mengikuti ucapannya tanpa banyak bicara—karena ia paling tidak suka dibantah—semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Beruntung anak-anaknya sangat penurut, hingga akhirnya ia merasa bisa meredam keinginan untuk melukai seperti waktu kecil.

Sampai, ia merasakan ada yang aneh dengan isi kepalanya.

Sesuatu terasa bergema, mengisi relung dalam kepala. Dadanya terasa sesak dan membuatnya ingin berteriak. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya selain rintihan tanpa suara. Seluruh tubuhnya terasa terbakar sedikit demi sedikit—hingga rasanya ia ingin mengoyak, mencabik, dan menguliti kulitnya sendiri agar sakit itu segera hilang.

“Ayah kenapa? Apa ada yang sakit?”

Sebuah suara diikuti dua tarikan di ujung bajunya, membuat Edi tersadar di tengah-tengah penderitaan tanpa akhir itu. Ia melihat ke bawah. Dua anak kecil dengan mainan di tangan mereka, sedang menatap khawatir. Itu anaknya; Gina dan Kiran.

Umur si kakak mungkin baru enam tahun, dan si adik akan mencapai tiga tahun sebentar lagi. Namun sayang, mereka tidak datang di waktu yang tepat.

Edi merasakan kepalanya kembali sakit. Suara mengerikan terasa mendengung dalam kepalanya. Ia terduduk dengan posisi menutup kedua gendang telinga. Dadanya kembali sesak. Suara itu berdesing dan menerornya dengan rasa pening yang amat sangat.

Hancurkan.

Dan seperti sebuah perintah, Edi akhirnya menarik tangan kedua anaknya menuju sebuah ruangan.

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang