liquid: manusia

32 14 0
                                    

[15+]

SEEKOR BURUNG kecil terbang rendah. Gerakannya agak terseok, dan sayapnya kelihatan tidak menerbangkan tubuhnya dengan seimbang. Ia menuju sebuah pojok jalan yang agak gelap, mencoba mendarat dengan perlahan. Namun, tubuhnya oleng. Setelah beberapa kepakan, akhirnya burung itu jatuh dan tergelung di aspal yang basah.

Burung itu berusaha bangkit, namun tubuhnya terlalu lemah. Rasa dingin air yang telah melingkupi bulunya berhasil membuat tubuhnya bergetar. Luka pada kaki membuatnya kesulitan menegakkan tubuh, dan ia kelaparan.

Saat itu, ia kira itulah akhir bagi hidupnya. Apalagi pandangan mata mulai menggelap di tiap detiknya. Lalu, terdengar suara langkah kaki. Seorang anak menghampiri dan mengangkat tubuhnya.

"Kamu terluka … biarkan aku mengobatimu, ya."

Jangan. Burung itu harus kabur. Ia tidak boleh berada di tangan makhluk paling berbahaya di bumi ini. Namun begitu, tubuhnya tidak dapat merespons. Anak itu berjalan keluar dari kegelapan, menuju sebuah perumahan. Pandangan si burung menggelap, dan pada akhirnya pingsan.

#

"Edi, apa yang kamu bawa di tangan?"

Saat burung itu kembali membuka mata, ia melihat seorang wanita di depannya—atau lebih tepatnya, sedang menghadap ke arah anak yang membawanya ke rumah ini.

"Burung Gereja, Ma. Aku melihatnya di ujung jalan tadi. Dia terluka … aku jadi ingin mengobatinya."

Terdapat jeda lama setelahnya. Wanita yang disebut anak itu sebagai mama tidak segera membalas. Tubuhnya ia turunkan hingga bisa menatap langsung sepasang mata milik anaknya, kedua tangannya terangkat dan memegang pundak anak itu. Terdengar sebuah helaan napas. Wanita itu kelihatan ragu, bibirnya agak melengkung ke bawah bersamaan dengan sinar mata yang menggelap. "Bagaimana kalau mama saja yang mengobatinya?"

Kini anak itu yang terdiam. Kedua telapak tangannya—yang saat ini melingkupi tubuh si burung—mengeratkan genggaman, dan berhasil membuat seluruh tubuh burung itu sakit. Mata anak itu melebar, lalu terdengarlah suaranya yang rendah dan dingin, "Aku yang menemukannya. Kenapa harus Mama yang mengobatinya?"

Burung itu merasakan seluruh tubuhnya sakit. Namun tidak dapat melakukan apa pun selain tercicit. Wanita di depannya ikut membelalak saat melihat ekspresi anaknya. Bibirnya kelihatan sedikit bergetar sebelum akhirnya menyinggung sebuah senyum paksa, "Baiklah. Karena Edi yang menemukannya, pasti Edi ingin mengobatinya sendiri, ya."

Wanita itu segera berdiri. Terdengar sebuah helaan napas, sebelum akhirnya anak itu berbalik menuju sebuah kamar. Satu hal yanh dapat si burung lihat sebelum pintu kamar di tutup; wanita itu menatap iba ke arahnya.

Burung itu dilepaskan dalam sebuah wadah transparan—seperti wadah akuarium kecil yang hanya memiliki tempat keluar dari atas. Segera setelahnya, dengan tubuh bergetar itu, ia mencoba untuk mengepakkan sayap. Sekali, dua kali, tiga kali; tidak berhasil. Ia bahkan sengaja menabrakkan tubuhnya ke kaca tembus pandang itu, mencoba menggerakkannya, tapi sepertinya hal itu sama sekali tidak berefek.

Si burung menatap punggung anak bernama Edi itu dengan rasa benci. Lagi. Padahal ia baru saja berhasil keluar dari jebakan yang dipasang manusia—yang telah berhasil menangkap banyak temannya. Padahal ia baru saja terbebas dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan manusia itu lakukan pada makhluk kecil sepertinya—seperti dikurung dalam sangkar, atau malah dimakan tanpa rasa iba sedikit pun—namun, lagi-lagi ia terperangkap di sini.

Bersama makhluk paling keji dan kejam bernama manusia.

Anak itu mendekat dengan membawa sebuah botol berwarna putih, kapas, dan juga kain perban. Kapas dicelupkan pada cairan merah di botol, lalu anak itu mengambil tubuhnya lagi dari dalam wadah. Kapas itu dioleskan ke kakinya, perlahan dan hati-hati. Ia lalu diperban, dan tubuh basahnya dikeringkan menggunakan sebuah kain.

liquid: get your revenge || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang