1

296K 1.5K 222
                                    

Srag

Beberapa lembar rupiah itu Bondan lempar tepat mengenai wajah Amel yang acak-acakan. Dengan perasaan teriris juga terhina, Amel mengambil lembar-lembar uang itu. Sudah terbiasa dia diperlakukan demikian oleh para lelaki yang menjajal tubuhnya.

"Dasar lonte! "

Bukannya terima kasih yang dia dapat justru cacian juga hinaan yang selalu dia dengar. Apa salahnya jika dia melacurkan dirinya. Bukankah dia sudah berjasa bagi mereka yang mendapatkan kepuasan darinya.

Amel menarik sudut bibirnya, mengembangkan senyum walau terpaksa. Dengan hati yang sudah remuk serta hancur dia masih mampu mengucapkan terima kasih, setidaknya esok hari dia dapat makan dengan uang hasil dia menjajakan tubuhnya. Jika saja hidupnya jauh lebih dari cukup untuk kebutuhannya dan beberapa anak yang harus dia nafkahi sendiri mungkin dia tidak akan berada di kamar ini, mengkangkangkan selangkangannya dan menggoda lelaki untuk memasukinya.

Blam!

Pintu di banting kasar membuat Amel terlonjak terkejut di balik selimut yang membungkus tubuh polosnya. Perlahan wajah Amel tertunduk, bersama airmata yang kembali menetes, diremasnya kuat lembaran uang seratus ribu itu. Hati wanita itu menjerit sakit, menghakimi dirinya yang berlumur dosa. Kenapa hidup tidak seadil yang selalu orang serukan.

.

"Mama ... "

Amel mengembangkan senyumnya, berjongkok sambil melebarkan tangannya, memeluk kedua putranya yang masih anak-anak. Mereka bukan anak Amel, wanita itu tidak sengaja menemukan mereka terlantar di pinggir jalan dan tengah mengais sampah untuk mencari sisa makanan. Amel yang teriris ketika itu langsung mrnghampiri dua bocah bernama Justin dan Julian, bertanya apa yang mereka lakukan, di mana orangtua mereka dan di mana tempat tinggal mereka. Dan Amel masih ingat dengan jelas jawaban Justin ketika itu;

"Mereka tidak menyayangiku dan adikku, Julian. Mereka bilang kami menyusahkan mereka, jadi kami diusir dari rumah. "

Menangislah Amel waktu itu. Dan sejak  detik itu, Amel tahu bahwa tidak dia sendiri yang tidak mendapatkan keadilan dunia ini. Masih banyak orang-orang di luar sana memiliki nasib sama sepertinya, bahkan jauh lebih mengiris dari pada dirinya.

"Justin dan Julian ingin makan apa? " tanya Amel dengan senyum sumringah pada dua bersaudara itu.

"Memangnya Mama punya uang? " tanya Julian balik dengan wajah polosnya. Amel mengusap kepala Julian sayang lalu mengangguk singkat.

"Iya. Bukankah waktu itu Mama sudah janji akan membelikan Julian ayam goreng jika Mama sudah punya uang? "

"Mama mau beli ayam goreng untuk Julian? "

Lagi, Amel mengangguki pertanyaan putra keduanya.

"Kalau Justin ingin makan apa? " tanya Amel beralih pada putra sulungnya.

"Justin bisa makan dengan apa saja, Mama. Bagi Justin bisa makan saja sudah syukur. "

Amel tersenyum lalu meraih tubuh kedua putranya dan memeluknya erat. Walaupun mereka bukan anak kandung Amel dan selama ini Amel belum pernah tahu caranya merawat anak tapi Amel akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua putranya dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan pendidikan terbaik untuk Justin dan Julian.

.

"Makan yang banyak ya, " ucap Amel pada kedua putranya.

"Ya, Ma, " sahut keduanya bersamaan dengan nasi penuh dalam mulut. Amel tersenyum lembut lalu mengusap kepala Julian.

Saat ini mereka berada di salah satu kedai makanan cepat saji yang menyajikan menu utamanya ayam goreng. Walaupun Amel bekerja sebagai wanita panggilan, dan dia menghidupi kedua putranya dari dia menjajakan tubuhnya, Amel masih bisa bersyukur setidaknya dari sana Amel bisa membuat dua anak tanpa dosa ini dapat makan enak dan mendapatkan apa yang anak-anak lain dapatkan. Walaupun sebenarnya dia tidak tega memberi makan anak tak berdosa dengan uang yang diklaim masyarakat uang haram. Jika saja para pengusaha itu tidak memberikan kualifikas terlalu tinggi pada calon pegawainya, atau setidaknya mereka yang membutuhkan tenaga manusia lainnya tidak terlalu memilih, atau seenggaknya pemerintah dapat memberikan lapangan kerja yang lebih banyak pada masyarakatnya mungkin saja Amel dan wanita lain yang bekerja seperti dirinya tidak akan hidup semenyedihkan ini.

Terkadang Amel merasa lebih berdosa memberi makan anaknya dengan uang haram dari pada dia menjajakan tubuhnya. Rasanya dia selalu dihantui rasa bersalah karena mengajak anak yang tidak tahu apa pun ikut memakan uang haramnya. Dalam hati wanita itu yang paling dalam selalu menjerit agar kedua putranya tidak ikut menanggung dosanya karena makan dari hasil dia menjual dirinya.

"Wah, Amel ya ... "

Amel mendongak dan matanya terbelalak kaget saat kedua bola mata cokelat miliknya bertemu dengan mata elang milik Anton, salah satu lelaki yang menjadi langganan dirinya. Amel dengan cepat bangkit berdiri menghadap Anton.

"Kamu di sini, Mas? " tanya Amel dengan suara pelan.

Anton hampir saja menciumnya jika saja Amel tidak bergerak cepat mendorong dada Anton.

"Maaf, Mas. Ada anak-anak, " sela Amel cepat. Anton melirik kedua anak lelaki yang memperhatikan dirinya juga Amel. Anton menghela napas kesal.

"Jadi ini anak-anak yang kau bicarakan? "

Amel mengangguk, seraya memberi kode pada Julian dan Justin untuk menyalami Anton.

"Mereka cukup sopan untuk anak seorang pelacur, " ejek Anton berbisik pada Amel. Amel hanya tersenyum getir mendengarnya.

"Oh ya, ingat jadwal besok sama aku ya. "

Kisah Seorang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang