Udara sore Tokyo benar-benar memberi nafas segar bagi wanita cantik yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari sebuah hotel tempatnya bekerja. Letih dan penat sudah biasa ia rasakan setelah pulang bekerja. Saat ini, Tokyo sedang musim semi. Sedikit dingin memang. Ia merapatkan blazernya. Kemudian melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya, ternyata kini sudah pukul 5 sore. Ia segera mempercepat langkah kakinya, mengingat jarak hotel tempatnya bekerja menuju stasiun cukup jauh.
Di pertangahan jalan ia berhenti saat melihat toko sepatu. Wanita itu teringat akan putra kecilnya. Ahh, rasanya ia ingin membeli salah satu sepatu di dalam toko itu, sebagai hadiah karena prestasi yang sudah putranya raih di sekolah. Tapi.. mengingat banyaknya pengeluaran untuk bulan ini, ia mengurungkan niatnya untuk membeli sepatu itu. Ahh, tak mengapa, mungkin jika nanti ia mendapatkan rejeki lebih, baru ia akan membeli sepatu itu untuk putranya.
Hidup di Tokyo itu memang tidaklah mudah. Apalagi ia hanya bekerja sebagai karyawan hotel biasa. Apa-apa serba mahal. Sewa apartemen, makan, biaya sekolah, transportasi, pajak. Itu semua tidaklah murah. Gajihnya tidak bisa membuatnya menjadi orang kaya hidup di kota ini. Kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi saja sudah membuatnya bersyukur.
Ketika sampai di stasiun, ternyata Shinkansen baru saja tiba. Tak ingin sampai di apartemennya terlalu malam, Wanita itu segera masuk ke dalam kereta. Sial.. saat memasuki kereta, kali ini ia tidak mendapatkan tempat duduk. Alhasil ia harus berdiri. Ah, punggunya rasanya lelah karena habis bekerja. Ini semua karena manager gilanya itu yang menyuruhnya untuk extand. Tepat pukul 6 sore, Shinkansen berhenti di pemberhentian Shibuya.
Kini kakinya berjalan keluar dari stasiun.
Ia harus berjalan kaki lagi kurang lebih 15 menit untuk sampai di apartemennya. Seiring kakinya melangkah, di tengah jalan ia berhenti saat melihat seorang pria berdiri di atas jembatan. Kepalanya menjurus ke arah sungai yang mengalir di bawah jembatan. Apa yang dilakukan pria itu? Jangan-jangan pria itu mau melompat? Pikirnya."Hei.." ia menarik tangan laki-laki itu hingga ponsel yang tadi laki-laki itu genggam jatuh ke sungai yang mengalir di bawah jembatan.
"Anatanara dō shimasu ka?"
(apa yang mau kamu lakukan?) tanya si wanita dengan nada marah pada pria itu."Hp gue" Si pria tidak menjawab, pria itu kini sedang menatap nanar ponselnya yang sudah hanyut terbawa air sungai yang mengalir di bawah jembatan.
"Hah?" si wanita mengernyitkan dahinya. "Orang indonesia kah?" tanya si wanita itu lagi.
"Hp gue, astaga" si pria semakin panik saat sudah tidak melihat kemana arus sungai yang hening itu membawa ponselnya. Bahkan kini kakinya ingin melompat dari jembatan untuk mengambil ponselnya.
"Eh, mau ngapain? Jangan coba bunuh diri disini, ya! " peringat si wanita.
"Siapa yang mau bunuh diri, sih? Liat tuh Hp saya jatuh. Ini gara-gara kamu tau gak!" marah si pria itu.
"Jadi kamu bukan mau bunuh diri?" tanya si wanita.
"Enggak lah!"
"Ya, Sorry, saya kira kamu mau bunuh diri, jadi ya, saya tarik aja tangan kamu" ujar si wanita sedikit merasa bersalah.
"Udah deh sana, bikin pusing aja" usirnya.
Si wanita itu menjadi kesal saat si pria mengusirnya. Padahal dia' kan ingin bermaksud baik. Tak butuh waktu lama, si wanita segera pergi meninggalkan pria yang menyebalkan itu.
"Arghh..Hp gue" pria itu mengacak kasar rambutnya, ia bingung sekarang. "Gimana gue hubungin Mira kalau gini caranya? Mana barang-barang gue hilang lagi. Baru juga sampai udah sial mulu perasaan" gumamnya. Tiba-tiba ia terpenjat. Wanita tadi bisa berbahasa indonesia. Jangan -jangan wanita itu orang indonesia? Ahh bodoh.. wanita tadi bisa membantunya. Iya! Kenapa ia baru sadar? Bodoh!
KAMU SEDANG MEMBACA
River Flows In You
RomanceAku akan mengubah makna sungai kecil yang mengalir itu, Chika. Alvito Fadrin