Telinga Zahran seakan tuli, tidak perduli dengan rentetan kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki yang pernah menjadi panutan hidupnya itu. Zahran benar-benar muak. Kalau saja ia tidak ingat ada Fiony, adiknya yang kini menyeka lukanya, sudah pasti Zahran mengamuk dan balik mencaci maki Shamy. Memangnya laki-laki itu tidak tau apa penyebab dirinya sampai babak belur seperti ini? itu semua karena kesalahan laki-laki itu. Kesalahan ayahnya. Dan berimbas padanya.
"Lain kali, bergaul yang benar. Papa tidak pernah ngajarin kamu jadi berandal, Zahran. Dan satu lagi, ingat, selesaikan skripsi kamu yang terus tertunda itu. Mau sampai kapan kamu jadi mahasiswa? Apa kamu gak malu?"
Zahran melengos, membuang mukanya ke lain arah. Hei, apa yang baru saja ia dengar? Ayahnya benar-benar pandai. Ternyata laki-laki itu masih saja berlagak berwiba di depannya. Apalagi kini berbicara soal rasa malu. Cih.. Lalu, bagaimana denganya sendiri? Apa dia juga tidak punya rasa malu? Ahh, semakin hari rasa hormatnya pada Shamy benar-benar sudah hilang.
"Papa, jangan marahin kak Zahran terus, ih" kali ini Fiony bersuara. Ia meletakan handuk kecil yang tadi di pakai untuk menyeka luka Zahran di mangkuk.
Shamy mengusap wajahnya kasar, ia lupa ada Fiony disini. Putrinya itu akan selalu membela Zahran. Apapun itu. "Zahran, kalau kamu masih seperti ini, Papa akan kirim kamu ke Indonesia. Kamu tinggal di Manado sama Oma kamu. Gak usah tinggal disini lagi."
Tangan Zahran mengepal kuat, matanya menatap punggung Shamy yang baru saja berlalu dari hadapannya.
"Kak.. "
Suara lirih Fiony mengalihkan atensi Zahran. Tatapan dari adik kecilnya itu sungguh mampu meredamkan emosinya. Tapi, alis Zahran mengerut saat melihat mata indah itu sudah berkaca-kaca. "Fio, kamu kenapa, hei?" Zahran merapatkan duduknya, ia tidak memberi jarak dengan Fiony sekarang. Tangannya terangkat untuk menyentuh lembut pipi Fiony.
"Kak Zahran jangan ke Manado." satu tarikan napas dan sesak bersamaan di dada Fiony, tatapannya terasa sendu, "Nanti Fio disini sama siapa? Mama udah gak ada. Papa sibuk." makin deras saja air mata Fiony berjatuhan sekarang. Zahran mana mungkin tidak membawa adiknya itu masuk ke dalam pelukannya.
"Siapa yang mau ke Manado? Kakak gak akan semudah itu bisa dipisahin sama kamu Fio. Sekalipun itu Papa." Zahran mengeratkan pelukannya, menghirup dalam-dalam aroma rambut Fiony. Ia menyayangi adiknya. Sungguh.
Fiony melepaskan pelukannya, ia menatap Zahran dengan sisa air mata yang masih tergenang di matanya, "Janji?"
Zahran mengangguk. Merentangkan tangannya kembali, meminta Fiony memeluknya lagi.
"Tapi, siapa sih, yang tega mukulin Kak Zahran kaya gini?" tanya Fiony setelah mengurai pelukannya.
"Gak apa, nanti juga sembuh." Zahran tersenyum tipis.
"Ish.. Bukan masalah itu. Tapi, ini kenapa kamu dipukulin, kak Zahran? Aku 'kan kasihan ngeliat kakak aku babak belur kaya gini, tau!"
"Iya, iya. Udah sana tidur! Besok kamu sekolah 'kan? By the way makasih, ya, udah obatin Kakak."
Fiony berdeham membalasnya, tangannya sibuk memasukan obat merah dan kapas kembali ke dalam kotak p3k. "Good night abang Zahran" satu kecupan singkat Fiony berikan di pipi Zahran.
Zahran tersenyum simpul setelah Fiony baru saja berlalu. Entah mau sampai kapan keluarganya seperti ini. Ia lelah. Lelah dengan kepalsuan ayahnya di dalam keluarga mereka. Tapi, mau bagaimanapun laki-laki itu ayah yang dulu begitu ia banggakan dan kagumi. Bukan hanya bagi dirinya saja, tapi juga, Fiony. Gadis SMA itu bahkan dijuluki anak Papa di rumah ini.
.....
Siapa yang tidak suka Harajuku? Fashion dan style-nya? anime? Manga? Atau budaya? semuanya terasa menarik disini. Jujur, Vito baru pertama kali datang ke kawasan ini. Suasana disini sedikit berbeda daripada daerah-daerah lain di kota Tokyo. Sepanjang jalan, perhatiannya teralihkan pada beberapa orang yang Vito temui berdandanan unik dan ber-make up yang mencolok. Hei, ini hal unik yang baru Vito temui di Jepang. Entah apa sebutan bagi mereka? Vito tidak tau. Yang jelas, terlihat mirip seperti tokoh-tokoh yang sering Kenzo gambar. Yang disebut.. Apalah itu. Vito lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
River Flows In You
RomanceAku akan mengubah makna sungai kecil yang mengalir itu, Chika. Alvito Fadrin