Part-2: Shinjuku

851 91 15
                                    

Angin musim semi menyembur wajah dua orang yang sedang berjalan di tengah padatnya jalanan Shibuya, pagi ini. Lampu lalu lintas itu bergerak lambat, beberapa para pejalan kaki langsung menyerbu untuk menyebrang di persimpangan Shibuya. Baru 10 menit mereka berjalan kaki, tapi Vito, laki-laki itu lagi dan lagi terdengar mengeluh. Ia tidak biasa berjalan sejauh ini, ditambah langkahan kaki Chika begitu cepat. Ia jadi tertinggal jauh di belakang.

"Chika, kita kenapa gak naik kereta aja sih?"

Chika melambatkan langkahan kakinya, lalu menoleh ke arah Vito yang berada di belakangnya. "Shinjuku itu deket, ngapain naik kereta? Buang-buang duit" ujarnya.

"Kalau deket, kok gak sampai-sampai sih? Capek nih saya jalan terus" omel Vito.

Kali ini Chika berhenti sepenuhnya. Ia membalikan badanya. Dan menatap sengit pada Vito. "Cerewet banget sih? Jangan manja, ya! Masih mending saya bantuin kamu" ujar Chika lalu kembali berjalan.

Chika, kok saya ditinggal sih?" Vito berlari kecil agar tidak tertinggal terlalu jauh dengan Chika. "Kok saya ditinggal sih, Chik?" kini mereka sudah berjalan berdampingan.

"Soalnya kamu lelet" ujar Chika.

"Saya lelet karena saya gak biasa jalan berpuluh puluh kiloanmenter gini, Chika. Saya biasanya--"

"Biasanya naik mobil? Gitu maksudnya?" ujar Chika yang seolah tau kebiasaan laki-laki Jakarta ini.

"Nah itu kamu tau"

"Orang seperti kamu itu pasti sangat dimanja orang tua kamu. Apa-apa serba mewah, serba instant. Gak mau susah intinya" ujar Chika.

Vito terdiam, mau menyanggah pun ia tidak bisa, karena yang dikatakan wanita itu memang benar.

"Hallo Dey, lo ada di apartemen lo gak sekarang?" kini Chika sedang berbicara dengan seseorang dibsebrang sana melalu ponselnya.

Sementara Vito, ia kini baru saja meneguk habis kaleng soda yang tadi Chika belikan untuknya di vending machine. Matanya menatap beberapa kendaraan yang lalu lalang melewati halte yang kini ia dan Chika duduki. Kemudian ia melirik arlojinya yang masih setia melingkar di tangan kirinya. Hanya jam bermerek Daniel wellington itu yang masih ia punya. Ia bisa saja menjual jam itu untuk bisa menyewa hotel agar tidak menumpang dengan Chika. Dan bahkan ia juga bisa naik transportasi untuk mencari Mira, tanpa harus capek-capek berjalan kaki seperti ini. Tapi, apalah dayanya yang tidak bisa berbahasa jepang. Jadi, percuma saja, ia akan tetap kesulitan dalam mencari Mira.

"Kita tunggu disini dulu, temen saya nanti nyamperin kesini. Apartemennya dia ada di balik gedung itu" tunjuk Chika pada salah satu gedung pencakar langit yang tidak jauh dari halte.

Vito hanya mengangguk patuh. Sesekali ia melirik Chika, wanita itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Ahh ia di kacangin sekarang.

"Kamu ke Jepang untuk liburan?" suara Chika terdengar bertanya pada Vito setelah ia menyimpan ponselnya di tas.

"Tujuan utama saya sih mau memulai bisnis disini. Karena kebetulan saya punya temen di sini, makannya saya berani dateng ke Tokyo" jelas Vito.

"Bisnis apa?"

"Rencananya sih saya mau buka restoran disini. Gimana keren gak?" tanya Vito dengan gaya tengilnya.

"Sok-sok'an mau buka resto di sini, bahasa jepang aja gak bisa." cibir Chika.

"Ya, gak papa dong, namanya juga usaha" bela Vito.

"Dey.. Hei, sini" Chika melambaikan tangannya pada seorang wanita di sebrang jalan halte, mengatakan bahwa ia ada disini.

River Flows In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang