Kaki mungil Kenzo teras melangkah seiring kemana langkah kaki ibunya berjalan. Menyusuri koridor apartemen yang tidak asing bagi Kenzo. Namun, Kenzo lupa kapan terakhir ia datang ke tempat ini.
Kenzo masih diam menatap sebuah pintu berwarna cream di depannya. Lalu fokusnya ia alihkan ke sang ibu, kepalanya mendongak, menatap wanita tinggi di sebelahnya yang kini menggenggam tangannya."Mama, kenapa kau mengajakaku kesini?" satu pertanyaan akhirnya keluar dari mulut Kenzo.
"Kenzo hari ini sama aunty Dey dulu, ya!"
Memang benar siang ini setelah menjemput putranya Chika justru membawa Kenzo ke apartemen milik Dey. Bukan ke cafetaria Vito seperti biasanya."Kenapa? Aku ingin ke cafetaria Om Vito, Mama"
Chika tidak memberi penjelasan sama sekali pada Kenzo, ia menarik tangan putranya setelah mengetuk pintu dan mendapat jawaban dari dalam sana dari sang empunya untuk menyuruh mereka masuk.
"Eh, ada Kenzo. Udah lama nih aunty Dey gak ketemu Kenzo" Dey, wanita itu dengan senyum yang menggembang berjalan mendekati Kenzo dan memeluk Kenzo erat. Kenzo sudah seperti keponakan bagi Dey.
"Dey, hari ini lu kan libur, gue titip Kenzo disini ya. Nanti gue jemput habis pulang kerja" ujar Chika sambil menyimpan ransel Kenzo di sudut ruang tamu.
"Ohh. Eh, tapi tumben lu bawa Kenzo kesini? Biasanya kan' lu titipin di tempatnya Vito?"
"Lagi pengen aja gue titipin Kenzo disini"
Chika berjongkok di depan putranya, mengelus pipi Kenzo yang entah kenapa selalu menggemaskan di matanya. "Nanti Mama jemput. Disini sama aunty Dey jangan nakal, ya!"
Bocah itu tidak menjawab, Kenzo menekuk wajahnya. Ia bahkan tidak menatap ibunya sekarang. Sementara Chika hanya tersenyum tipis. Chika tentu saja sadar akan mood Kenzo yang tiba-tiba berubah saat ini. Apalagi yang membuat bocah itu marah kalau bukan karena Chika tidak mengajaknya ke cafetaria Vito.
Tidak ingin terlalu lama izin dari pekerjaannya Chika segera berpamitan dengan Dey untuk kembali ke hotel.
.....
Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar dari mata indah itu. Isakannya semakin terdengar pilu. Ia memegang kuat railing besi pembatas di sungai kecil itu, membiarkan lututnya bertumpu di jalan aspal. Kakinya lemah untuk tetap berdiri tegak. Dia seolah mengadu pada semesta bahwa kini dirinya tengah lemah dan tak berdaya. Tidak ada kekuatan yang dimiliknya saat ini. Mungkin siapapun yang melewati jalan itu akan bertanya, kenapa wanita itu menangis tersedu-sedu seorang diri di tempat ini?
Rasa sakit dan sesak benar-benar menguasai dadanya. Selama bertahun -tahun Chika bekerja di hotel itu ia sangat menghindar bertemu apalagi berhubungan dengan siapapun yang memiliki sangkut paut dengan Shamy. Tapi, dia-- Zahran, laki-laki yang lebih muda dari Chika itu seperti sengaja mengatur semuanya.
Hatinya semakin sakit kala mengingat semua kata-kata makian dan kebencian dari mulut Zahran. Walau dengan susah payah Chika mencoba untuk tidak mengingatnya, namun tetap saja, seakan-akan suara Zahran terus menusuk dan menggema di gendang telinganya.
Bagaimana tidak, laki-laki muda itu seperti sangat membencinya. Ada dendam dari Zahran yang Chika rasakan. Chika masih ingat jelas saat Zahran terus berbicara hal yang menyakitkan itu. Memaki-maki dan menjatuhkan harga dirinya di depan staff hotel yang lain. Bahkan Zahran benar -benar tidak mempedulikan air matanya yang terus berjatuhan. Laki-laki itu terus berbicara dengan sorot mata tajam menatapnya yang sudah terlihat tidak berdaya. Menyudutkannya, seolah dirinya bukanlah wanita baik-baik. Apa segitu bencinya kah Zahran padanya? Kenapa laki-laki itu tega mengata-ngatainya di depan banyak orang? Harga diri Chika hancur. Apa yang selama ini coba ia tutupi sudah dibuka oleh Zahran dengan mudahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
River Flows In You
RomanceAku akan mengubah makna sungai kecil yang mengalir itu, Chika. Alvito Fadrin