Part-5: Sakura di musim semi

596 87 21
                                    

Hangat. Rasanya hangat setelah satu cangkir kopi itu berada di tangan Chika.
Ia menghisap kopi itu begitu nikmat.
Tadi Chika baru saja memutuskan sambungan Video callnya bersama sang ayah. Ia senang bisa bertatap muka dengan Papanya walaupun via video call. Beliau sekarang sudah jauh lebih sehat.

"Untung bokap gue pengertian. Dia gak maksa gue buat pulang" Chika meletakkan cangkir kopinya lalu beralih mengambil satu buah pisang goreng panas yang baru saja Dey buat.

Kini Chika memang berada di apartemen sahabatnya, Dey. Sepulang bekerja tadi ia  sengaja mampir sebentar.

"Kenape lu gak pulang aja, Chik? Kalau lu gak ada duit gue bisa pinjemin lu kok" Dey, wanita itu baru saja bergabung dengan Chika di sofa.

"Untuk saat ini kayaknya memang gak memungkinkan buat gue pulang ke indo. Di apartemen gue kan ada Vito. Kalau Kenzo kan gue bisa titipin ke elu, tapi kalau Vito? Emangnya mau lu dititipin?"

"Ogah. Gak mau gue" tolak Dey.

"Tuh kan, lu pasti gak mau. Udah tau gue" Chika terkekeh sendiri mendengar penolakan Dey.

"Chik,"

"Hem"

Dey, menyerongkan posisi duduknya agar bisa berhadapan dengan Chika yang duduk disampingnya. "Maaf ni, gue bukan bermaksud mau ikut campur urusan lo atau gimana. Tapi, apa lo gak ada niatan buat jujur ke orang tua lo tentang Kenzo? Tentang gimana susahnya lo disini? Kalau lo mau terbuka mereka pasti ngerti kok"

Chika menghela napas beratnya, kepalanya ia sandarkan ke sofa. Ia sedikit memijit pelipisnya. Chika sadar begitu banyak masalah yang ia pikul selama ini sendirian.

"Chik, gue tau lo punya privacy. Lo memang punya hak kok buat nyimpen masalah pibadi lo. Gue sebagai temen lo gak harus tau juga gak apa kok. Tapi, keluarga lo? Nyokap, bokap, adek lo. Mereka semua berhak tau kondisi lo disini. Sampai kapan lo mau sembunyi?"

"Belum saatnya, Dey. Gue belum siap buat cerita ke mereka tentang apa yang terjadi sama gue selama ini. Gue itu tulang punggung keluarga semenjak bokap sakit. Nyokap cuma ngandelin uang pensiunan bokap buat kebutuhan sehari-hari mereka. Sementara pengobatan bokap? kuliah Christy? itu semua gue yang tanggung. Gak mungkin gue cerita tentang keadaan gue yang selama ini ngebesarin anak tanpa suami. Gue gak mau mereka jadi kasihan sama gue. Kondisi keluarga gue itu lagi sulit, apalagi bokap gue sekarang itu lagi sakit. Gue gak mau sakitnya malah makin parah kalau tau kondisi gue disini"

Dey terdiam. Jujur, ia kasihan dengan Chika. Tiga tahun ia mengenal Chika, menurutnya temannya ini adalah wanita yang kuat. Memang tidak banyak yang ia ketahui tentang masalah pribadi ataupun masa lalu Chika. Itu terlalu sensitif untuk ia tanyakan. Chika begitu mengunci diri  tentang masa lalunya. Bahkan dari keluarganya sendiri.

.....

Jalanan Shibuya begitu lenggang di sore hari ini. Pria muda itu melirik ke arah dosennya. Sepertinya Dosennya itu sedang pusing memikirkan temannya yang tak kunjung ditemukan. Sudah hampir seminggu ia menjadi supir untuk seorang amirah fatin. Coba saja kalau bukan masalah skripsi, ia tidak akan mau jadi supir seperti ini. Benar-benar mengganggu waktunya.

"Ini udah sore lho, kita mau kemana lagi sih, buk? Saya bukan supir ibuk loh" ujarnya.

Mira melirik malas pada pria muda di sebelahnya. "Kamu gak usah banyak tanya. Kepala saya lagi pening ini. Kamu nyetir aja yang bener"

Si pria muda itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ahh, Mau kesal tidak bisa. Marah apalagi.

"Zahran, turun dulu di situ, saya mau beli kopi" tunjuk Mira pada sebuah mini market di pinggir jalan.

River Flows In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang