Part-23: Dilema & ketidaksiapan

566 101 40
                                        

Di tengah rasa yang membara, Chika seketika melepas genggaman tangan Vito. Wanita itu memalingkan wajahnya dari Vito yang sedari tadi menguncinya dalam tatapan laki-laki itu. Kembang api terakhir baru saja usai menghiasi langit malam Tokyo. Vito sadar, begitu banyak waktu yang sudah terlewati dalam tatapan dan perkataanya untuk Chika. Tapi, kini wanita itu hanya diam. Sibuk mencari objek lain untuk di tatap. Seakan enggan menatapnya lebih lama lagi.

Tidak ada jawaban. Sudah sepersekian menit Vito menunggu, berharap bibir itu terbuka dan memberi jawaban untuknya. Tapi, sampai detik ini tak kunjung jua ia mendapat jawabannya. Baik, Vito masih mau menanti. Membiarkan kesunyian tetap berlalu entah sampai kapan. Benar-benar sunyi. Tidak ada lagi gemarlap dan suara kembang api yang mengisi ruang antara mereka. Sampai pada akhirnya..Chika bersuara dan menatap matanya lamat-lamat.

"Kamu lagi bercanda 'kan, Vit? Kenapa sih, suka banget bercanda?" Chika mencoba untuk tersenyum dan terkekeh sambil terus menatap Vito. Berharap apa yang dikatakan laki-laki itu tidaklah serius. Vito suka bercanda bukan?

Vito kembali meraih kedua tangan Chika tanpa takut jika wanita itu melepasnya lagi. Menggenggamnya erat. Seolah benar -benar ingin meyakinkan wanita itu. "Saya gak bercanda, Chika. Saya mencintai kamu. Saya serius kali ini. Saya mau punya alasan untuk tetap di dekat kamu. Menjaga kamu dan juga Kenzo" ujarnya dengan mantap. Begitu pula eratnya genggaman tangannya pada Chika.

Mendengar itu, napas Chika seketika tercekat. Chika menggeleng dan melepaskan genggaman tangan Vito. "Kenapa, Vit? Kenapa kamu menaruh hati pada saya? Kenapa, sih?"

Vito menarik napasnya perlahan, menarik kedua sudut bibirnya tidak terlalu lebar. "Saya mencintai kamu, Chika. Apa kalimat itu tidak cukup kuat untuk menjadi alasan saya menaruh hati pada kamu?"

Chika menjatuhkan pandangannya ke bawah, dan berlabuh pada heningnya sungai sumida. Memegang kuat-kuat railing besi pembatas sungai itu. Sesekali menghirup udara malam yang kian dingin. Mengisi ruang di dalam rongga dadanya yang entah kenapa terasa sedikit sesak sekarang. Ada rasa takut. Tidak ini bukan rasa takut, tapi lebih ke-- rasa trauma yang kini tidak ingin Chika ulang. Apalagi di tempat ini.

"Maaf.."

Mendengar satu kata itu yang keluar, hati Vito benar-benar patah. Tidak mungkin tidak. Bohong kalau ia bilang tidak. Walau sebenarnya kini Vito sedang tersenyum kala Chika mengatakan itu.

"Vit, untuk saat ini saya tidak mau mencari kesenangan diri sendiri dulu. Ada begitu banyak hal yang harus saya prioritaskan. Dan.. Lagi pula.. saya belum siap untuk terluka lagi. Kamu mau mengerti 'kan?"

Ting!

Ting!

Ting!

"Simimasen!"

Ting!

Ting!

"Sumimasen!"

Vito tersentak ketika suara bell di atas meja dekat kasir berbunyi berulang kali. Ternyata seorang wanita paruh baya berdiri di balik etalase dengan wajah terlihat kesal. Buru-buru Vito menghampiri si pelanggan itu.

"Hai" Vito sedikit membungkukkan badannya. Ada rasa tidak enak karena sudah membiarkan pelanggan itu menunggu lama. Bahkan mengabaikannya.

"Tamago sandwich futatsu to macchiato hitotsu kudasai" (Tolong dua telur sandwich dan satu machiato)

"Hai , kashikomarimashita. shoushou omachikudasaimase." (Baiklah. Mohon ditunggu sebentar)

Buru-buru Vito membuatkan pesanan wanita paruh baya ber-uban putih itu. Vito tidak ingin menambah kesan jelek pada pelanggannya saat ini.

River Flows In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang