Zahran paling benar-benar tidak suka privacynya diganggu. Sangat benci. Ketenangan yang belum usai 5 menit ia rasakan kini dihancurkan oleh gebrakan pintu kamar yang di buka cukup keras. Ahh, siapa yang berani-beraninya merenggut ketenangannya siang ini? Dengan kesal ia membuka mata dan langsung bangkit, merubah posisinya menjadi duduk di tepi kasur. Menatap heran dan tak lupa tatapan dingin selalu ia berikan pada laki-laki tinggi ber-jas hitam yang kini berdiri tegak di hadapannya. Mau apa dia?
"Zahran, untuk apa kamu selalu menemui anak itu?"
Zahran mengernyit, "Anak itu siapa?" nadanya juga sedikit tidak bersahabat.
"Anak-- anaknya Chika. Jangan kamu kira Papa tidak tau kamu selalu pergi menemui anak itu di sekolahnya. Zahran, Papa minta mulai sekarang tidak usah sok peduli dan mencoba mendekatinya. Anak itu bukan siapa-siapa. Untuk apa kamu mekakukan itu? Ha?"
Zahran menyeringai, ia melipat kedua tangannya di dada sambil menengadah, menatap Shamy yang kini sedang berdiri tegak tepat di depannya. "Kenapa anda menyebut anak itu anaknya Chika? Bukannya anak itu juga anak anda, tuan Shamy Natio?"
Shamy cukup terdiam lama, entah apa yang dia pikirkan. "Dia bukan anak saya" kata-kata itu lolos dari mulutnya. Kata-kata itu juga yang selalu Shamy lontarkan untuk Chika.
Zahran tertawa sinis. Ahh, apa Shamy kini sedang bermain-main dengannya? Apa laki-laki itu kini sudah lupa ingatan?
Bisa-bisanya dia menjawab seperti itu. Memalukan."Apa saya tidak salah dengar? Bisa-bisanya Papa tidak mengakui kesalahan. Mau ditutupi pun saya sudah tau. Anak itu anak Papa dan wanita itu."
"Papa tidak menganggapnya! Anak Papa cuma kamu dan Fiony."
Zahran bangkit dari duduknya, ia berjalan ke arah jendela kamarnya, menyandarkan punggungnya disana. Kini menatap ayahnya jauh lebih santai. "Kenapa? Kenapa tidak menganggapnya?"
"Karena Papa tidak mau menyakiti perasaan kalian. Apalagi perasaan Mama kamu, Zahran"
Mendengar penjelasan itu mampu membuat Zahran tertawa lebar. Alasan konyol apa itu? Benar-benar memalukan. Dengan tangan yang terlipat di dada, Zahran mendekati Shamy. Ia tidak takut menatap Shamy dengan sangat sinis kali ini. "Apa? Tidak mau menyakiti perasaan kami? Perasaan Mama? Haha, lucu sekali" Zahran tertawa lebih keras kali ini. Rasa jengkelnya semakin meletup sekarang. "Papa pikir, dengan tidak mengakui anak itu sebagai anak Papa, lalu bisa membuat kami tidak tersakiti? Membuat kami tidak marah? Iya? Haha, pintar sekali tuan Natio ini" Zahran memajukan langkahnya agar lebih dekat dengan Shamy, dan berbisik pelan. "Papa salah besar! Salah besar! Asal Papa tau, saat Papa menduakan Mama, maka saat itu juga Papa sudah menyakiti perasaan kami. Perasaan Mama saya. Saya yakin, Mama saya disana pasti sama sedihnya, dia pasti sakit tau ternyata tabiat suaminya seperti ini. Memalukan! Anda seperti seorang pecundang!"
"Zahran!" sepertinya Shamy terpancing sekarang. Napasnya kembang kempis.
"Anda menduakan Mama saya bertahun-tahun lamanya. Apalagi anda sampai memiliki anak dengan wanita itu! Lalu dengan mudahnya anda tidak mengakui anak itu. Apa namanya kalau bukan pecundang? Ha?" Zahran menggelengkan kepalanya pelan sembari terus menatap sinis ayahnya. "Anda dengan jahatnya membiarkan anak itu hidup kesusahan bersama ibunya. Dimana akal sehat Papa? Ha? Kalau anda memang tidak menginginkan anak itu, harusnya dulu anda tidak berbuat dosa dengan wanita itu! Memalukan! Sudah punya istri tapi masih mencari wanita lain!"
"Zahran, jaga omongan kamu!" tangan Shamy seketika terhenti di udara. Seumur-umur ia tidak pernah mau untuk berbuat kasar pada anaknya. Tidak akan mau.
"Kenapa? Itu benar 'kan? Papa, anda tau? Saya malu punya ayah seperti anda. Sangat malu.. Dari sekian banyak laki-laki hebat di dunia ini, tapi kenapa harus anda yang menjadi ayah saya?" Zahran tersenyum getir, "Maaf, kalau kesannya saya durhaka mengatakan itu. Tapi, saya juga yakin kalau Fiony dan anak itu tau seperti apa tabiat laki-laki yang menghadirkannya di dunia ini, pasti mereka akan mengatakan hal yang sama seperti saya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
River Flows In You
RomanceAku akan mengubah makna sungai kecil yang mengalir itu, Chika. Alvito Fadrin