🦋Tertekan🦋

297 31 0
                                    

Setibanya di rumah, Luluv langsung menghempaskan diri di atas kasur. Tangisannya masih saja terdengar, Rita yang melihatnya cuma memasang wajah bingung.

Tok tok tok

"Sayang kamu kenapa?" tanyanya cemas dari balik pintu. Karena dari tadi ia tidak di hiraukan anaknya itu.

Lagi dan lagi Rita dikacangi, ia membuang nafas kecil sekejap lalu pergi dari depan pintu kamar Luluv penuh rasa khawatir.
Sedangkan di dalam kamar, Luluv mengecek foto profil bosnya yang berpenampilan sangat kece. Tangisannya semakin memecah, perlu di akui bahwa ia telah jatuh hati kepada Mike.

"Apa aku nggak pantas sama kamu hah?!" tanyanya ke foto profil tersebut, hingus-nya menetes mengenai layar ponselnya. Hidungnya pun kemerahan karena tangis.

Di lain tempat, Mike mencoba menghubungi sekretarisnya tersebut, namun ponselnya mengalami kehilangan sinyal.

"Sial!" umpatnya sambil mengacak rambut. Sebenarnya ia ingin ke rumah sekretarisnya. Namun tidak tau jalannya. 

Kembali lagi ke Luluv yang matanya mulai membengkak. Ia pergi menghadap kaca panjang yang tertempel di lemari kayu, lalu memegang wajahnya.

"Kasian amat sih kamu say," gumamnya, ke diri sendiri melalui pantulan bayangannya di kaca.

Tok tok tok

Bunyi ketokan tersebut ditanggapi Luluv cepat, dengan menghapus air matanya, lalu membukakan pintu kamar.

'Cklek!

"Kak, Vika harus bagaimana ini? Tadi di sekolah Pak kepsek manggil Vika lagi tentang bayaran itu, lagian ujian juga makin dekat. Gimana nih Kak?" Vika memasang wajah cemas. Pasalnya ia tidak ingin turun kelas. Dan mengecewakan orang tersayangnya.

Luluv memegang kedua tangan adiknya tersebut, lantas ia tersenyum paksa. "Besok kakak akan ke sekolahan untuk bayar. Jadi kamu bisa ikut ujian," ujarnya bohong. Demi membuat adiknya bisa tersenyum kembali.

"Beneran Kak? Emangnya kakak dapat uang dari mana?" Mata Vika nampak berbinar-binar. Betapa bahagianya ia ketika sang kakak mengatakan kalimat itu. Kalimat yang tidak terduga-duga sebelumnya.

"Pake uang tabungan kakak lah. Ya kali pake tuyul," jawabnya berbohong lagi, padahal uang tabungannya ia belikan untuk album biasnya seorang. Sungguh, dirinya sangat menyesal.

"Ye, Vika sayang banget sama kakak! Ntar kalo Vika sudah sukses, adikmu ini janji bakal membalas semua kebaikan kakak." Jari kelingkingnya terulur. Sekilas Luluv menatap, lalu ia membalas tautan jari kelingking tersebut.

"Sudah gih sana tidur, besok belajar yang benar."

Vika mengangguk mengiyakan, sehabis itu tinggallah Luluv sendirian dan membanting pintu kamar. Runtutan masalah seperti terlilit di otaknya. Ia sekarang benar-benar tertekan.

"Okey tenang Luluv yang cantiknya kece badai. Besok aku bakal ngomong jujur kalau sekarang ini belum punya uangnya. Yah cuma itu satu-satunya cara. " Luluv memijat pelipisnya. Lihat betapa susahnya bukan jadi orang yang tidak mempunyai uang banyak? Maka jika mempunyai harta yang banyak janganlah sesekali untuk mengumbar kekayaan ataupun membuang-buang duit demi hal yang tidak terlalu dibutuhkan.

***

Waktu berjalan sangat cepat. Kini perempuan bertubuh sedang itu menghadapi pria sekitar berumur empat puluh tahunan sambil memainkan kumis.

"Jadi tujuan saya ke sini mau membicarakan tentang bayaran Vik---"

"Soal itu sudah dibayar."

Balas pria itu selaku kepsek di sekolah Vika. Luluv yang memakai baju kaos biasa tersebut memasang wajah heran.

"Bukannya saya belum membayarnya Pak? Mungkin bapak salah orang kali! Bapak kok jadi kepsek pikun gini?"

"Tidak Mbak, tunggu tapi Mbak ini benar bukan kakaknya Vika?" tanyanya di balas Luluv dengan ucapan mematikannya lagi.

"Pak, saya sudah beberapa kali loh ketemu sama bapak. Kok masih nggak ingat juga? Bapak ini pikun atau gimana?"

"Mbak, saya itu bukan pikun. Tidak mungkin saya bisa mengingat wajah wali murid-murid disini, karena seharusnya Mbak tau sendiri, banyak sekali wali murid lain yang sering menemui saya." Sebelum meneruskan kalimatnya, ia mengusap wajahnya gusar sebentar.

"Jadi gini Mbak, yang membayar itu ad---" Belum tuntas bicaranya, tiba-tiba saja seseorang di balik pintu langsung memotongnya.

"Aku yang bayar." Orang itu ialah Varel, dimana kedua tangannya berada di saku celana abu-abunya.

"Lho kok?"

Saat ini Luluv bersama Varel duduk berdua di atas kursi panjang di taman. Wanita itu berkali-kali mengucapkan terima kasih ke pria yang memiliki bola mata kecoklatan tersebut.

"Tapi kamu bagaimana tau soal ini?" tanya Luluv mewakili pertanyaan di dalam otaknya sedari tadi.

Varel memandang Luluv yang rambut pirangnya berhembus di tiup angin. Terlihat begitu cantik di matanya.

"Rel?" Luluv mengibaskan tangannya. Sontak saja kesadaran Varel kembali penuh.

"Oh iya jadi gini."

Bersambung....

Married With A Ceo [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang