🦋Ente kadang-kadang🦋

106 15 1
                                    

Yang penasaran dengan Mike ataupun Luluv sabar dulu ya guys :v kita selesaikan dulu masalah Jack ini, biar kalian mengerti alur ceritanya :v

***

Arin mematung mendengarnya, mulutnya pun terasa kelu untuk dibawa bicara. Tak menyangka bahwa Barbie bisa berfikir sejauh itu. Membunuh itu adalah perkara yang sangat dilarang. Jack menjauhkan dirinya dari Arin, ia memijit batang hidungnya sekejap.

"Makanya itu, aku tidak mau mendekam di penjara karena menuruti kemauan dia. Lagian juga, aku nggak punya masalah sama ibunya Luluv itu, semisal ada masalah pun sama beliau, aku tidak mungkin melakukan hal yang senekat itu. Bisa-bisa, aku membusuk di penjara, dan Luluv tidak akan pernah memaafkanku. Maka aku akan selalu dirundung rasa bersalah dan menyesal, gila yang ada."

Arin mendongakkan kepalanya, ia turut berdiri juga. Memandangi Jack dengan senyuman meremehkan. "Katanya tadi kalau mau dilaporkan ke polisi terserahku saja. Sekarang katanya nggak mau mendekam di penjara, gimana tuh ceritanya?" Jack memutar kedua bola matanya malas. Menganggap dirinya bodoh sekarang.

"Itu cuma bercanda, emangnya kamu beneran mau laporin aku ke polisi?" Jack memasang mimik serius, menanti-nanti jawaban Arin yang lagi menyipitkan kedua matanya, sambil masih tersenyum sinis. Yang di dalamnya terbesit meremehkan.

"Hm, laporin nggak ya?" Arin mengetuk-ngetuk dagunya, seraya mengerucutkan pelipis.

"Kamu mau nggak di laporin ke polisi?" Secepat mungkin Jack menggeleng keras. Bagi Arin, pria gagah bersamanya kini seperti anak kecil yang tidak mau berangkat sekolah karena males.

"Kalau nggak mau di laporin, maka jawab dulu pertanyaan ku."

"Apa?"

"Pertama, setelah kamu mendapatkan info dariku, apa yang selanjutnya kamu lakukan terhadapku?" Satu pertanyaan dilontarkan. Sebelum menjawab, Jack menghembuskan nafas kasar.

"Ada berapa pertanyaan yang harus ku jawab?" tanyanya balik, tanpa menjawab pertanyaan Arin beberapa detik lalu.

"Terserah ku lah, jawab aja dulu pertanyaan ku tadi."

"Ente kadang-kadang."

"Beliau ini kocak geming."

Jack menepuk jidatnya, sehingga Arin terkikik geli. "Oke, fine! Akan ku jawab. Setelah itu, aku akan ..."

Belum selesai Jack meneruskan kalimatnya, tetapi Arin menerobosnya begitu saja. "Mengancamku agar tidak melaporkanmu ke polisi, jika aku masih berani lapor polisi, maka kamu akan berbuat tidak-tidak, begitu? Iyakan?" Dua pertanyaan campur tebakan, di balas Jack dengan menjentil jidat Arin.

"Bukan bodoh," ucapnya pelan. Dua pasang mata itu, saling bertatapan lumayan lama. Larut dalam keindahan yang didapat oleh keduanya masing-masing. Akan tetapi, Jack memutuskannya terlebih dulu, sebentar ia berdehem. Dan bersikap seperti biasa lagi.

Sedangkan Arin mengulas senyum tipis, sembari menyelinap anak rambut ke satu sisi telinganya. Ia tertunduk ke bawah, menetralkan bunyi jantungnya yang sedang konser jedag-jedug, dengan memilin ujung bajunya.

'Sentuh aku Mas, sentuh aku. Eh, astagfirullah Arin!' Jack memperhatikan Arin yang memukul-mukul kepalanya pelan. Ia kemudian menggaruk ujung keningnya.

'Ini cewek gila apa ya?' batinnya, yang pandangannya tidak lepas dari Arin. Wanita yang berhasil membuat dirinya ingin berlama-lama lagi berduaan. Menurutnya, Arin orang yang lumayan asik juga. Hingga seutas senyum simpul terbit di sudut bibirnya.

"Hei bodoh!"

Arin terlonjak kaget akibatnya, kembali ia bersikap normal. Membuang ingatannya yang saling bertatap-tatapan dengan Jack. Lelaki itu sukses besar membuat dirinya salah tingkah. "Kalau bukan, apa dong?" tanyanya demikian.

Tanpa menjawabnya, Jack berbalik arah menuju kemana Arin menemukan poster anime miliknya beberapa saat yang lalu. Ia membungkukkan badan, mengambil kamera yang tidak utuh tadi. Arin membuntutinya, menatap Jack penuh tanda tanya.

"Ini kamera buat merekam se---"

"Iya tau itu kamera buat merekam, nggak usah banyak basa-basi. Katakan saja langsung!" cerocos Arin muncrat-muncratan, sembari bersedikap dada.

Jack melotot ke arah Arin, sontak saja yang di layangkan tatapan berapi itu menjadi tunduk. "Sorry," ujarnya, dengan mengangkat dua jari.

"Aku disuruh Barbie untuk merekam kegiatanku. Dia ingin memastikan bahwa aku mengikuti arahannya, dengan cara begini, sebagai pembuktian. Aku sengaja berakting memperlakukanmu dengan kasar, dan aku juga sengaja menyayat tangan sendiri, terus mengucapkan kata mati itu ..." Jack menggantungkan kalimatnya, ia menitik fokuskan pandangannya ke arah Arin yang sangat serius memandangi dirinya.

"Supaya Barbie yakin kalau aku sudah membunuh kalian berdua," sambungnya, lantas diiringi akan hempasan nafas kasar.

"Berdua? Maksudnya itu, Barbie menyuruhmu agar membunuhku juga, begitu?" Pertanyaan barusan didapatkan anggukan mantap dari Jack. Arin membulatkan mulutnya membentuk huruf O besar, jika saja Jack serius, sudah dipastikan dirinya sudah tidak bernafas lagi sekarang. Mati.

"Terus bagaimana caranya? Begini lho Jack, 'kan tante Rita nggak ada disini, bagaimana bisa Barbie mempercayaimu? Semisal kamu terus mengikuti kemauannya."

"Oleh karena itu, aku sengaja melemparkan pisau tadi ke arah kamera ini." Sedikit diangkatnya kamera yang ada digenggamnya.

"Karena aku sudah muak terus-menerus diperlakukan dia seperti anjing. Dan aku juga nggak mau berurusan dengannya lagi, aku tau aku sudah melanggar janji dengan Om Reno agar selalu mengiyakan kemauan anaknya. Tapi mau bagaimana lagi, perbuatan Barbie kali ini benar-benar kelewatan batas, sampai aku sendiri pun sudah tidak mengenal Barbie lagi. Dia sudah berubah seratus persen. Dan keputusanku sudah bulat, aku tidak akan mau lagi jadi budaknya," tegasnya tak main-main. Cukup dilihat dari raut wajahnya saja.

Arin menggelengkan kepalanya kecil, seraya menggaruk dagunya. "Apa kamu tau dimana Pak Mike berada?"

"Ya, aku tau."

"Dimana?"

"Dia ad---"

'Bruk!

"ITU DIA PAK YANG SUDAH MENCULIK WANITA ITU!"

Bersambung ...


Married With A Ceo [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang