🦋Pahitnya kehidupan🦋

243 10 0
                                    

"Eh, kalian sudah ngerjain tugas matematika belum?"

"Belum." Pertanyaan dari Jordan, dijawab serentak oleh Raka beserta tiga teman lainnya.

Kelima bocah SD tersebut, kini sedang bersantai dibawah pohon rindang, beralaskan rerumputan hijau tanpa celah, yang posisinya saling berdempetan. Setelah capek bermain, mereka memang sudah biasa kumpul disitu, saling berbagi cerita dan bercanda ria. Deru angin menerpa rambut mereka, sehingga tidak merasakan hawa panas yang menerjang tubuh.

Raka menyenderkan punggung ke batang pohon yang tumbuh tegak dibelakangnya duduk. Ia bersedikap dada, sembari menatap lekat hamparan langit kebiruan. "Kita ini sedang berada dalam fase pahitnya kehidupan," ujarnya, yang diangguki oleh teman-temannya mantap.

Seorang pria memakai kemeja setelan abu-abu, sambil memegang sebuah map coklat, yang melewati area itu tidak sengaja kedua kupingnya menangkap omongan dari Raka. Mendengarnya, ia langsung menghampiri kelima bocah tersebut dengan ekspresi memuakkan.

"Siapa tadi yang bilang sedang merasakan pahitnya kehidupan?" tanyanya, langsung ke the to poin. Dengan kompak mereka menunjuk Raka yang mana dirinya langsung terdiri, sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

Pria tidak diketahui namanya itu mengusap gusar wajahnya sepersekian detik, lalu menunjuk ke arah Raka seorang.

"Eh bocah, asal lo tau ya, yang sedang merasakan pahitnya kehidupan itu dimana kita menjalankan kehidupan selanjutnya, yaitu mencari pekerjaan tetap yang susahnya nauzubillah. Lo pikir dong, dikasih tugas rumah doang ngeluhnya melebihi kapasitas, nih liat gue!"

Pria itu menunjuk diri sendiri, dimana keringat mengalir di kedua sisi pelipisnya. "Dari pagi sampai sekarang sudah tiga kali ditolak. Katanya kalau mau kerja harus ada pengalaman kerja, lah gue? Gimana bisa kerja coba? Gue ini cuma lulusan SMA, sebenernya ya pengen juga kuliah, tapi orang tua gue nggak sanggup membiayai. Dan gue harus kerja biar bisa menafkahi keluarga, apalagi gue ini laki-laki, anak pertama lagi. Mana punya empat adek yang masih sekolah. Nyari pekerjaan nggak tetap juga sulit bruh, tiap mau lamar, sudah banyak keduluan dimasuki orang-orang. Dari yang gue tafsir, lo pada anak orang kaya. Bersyukur dong njir, nggak usah ngeluh deh, pake bilang pahitnya kehidupan segala. Matamu pahit!" terangnya panjang kali lebar, sampai muncrat-muncratan. Kelima bocah itu saling melempar pandang, salah satu dari mereka menggigit bibir bawahnya, yang tidak lain ialah Raka seorang.

"MAAF KAK, KABUR ...!"

Tanpa aba-aba, mereka pada melarikan diri, menyisakan pria itu sendiri yang melongo ditempat. Meratapi kelima punggung bocah-bocah tersebut yang mulai menghilang dari pandangannya. Ia menghela nafas kasar, lalu beranjak pergi dari situ.

Beberapa menit kemudian ....

Kelima sekawan tersebut sekarang pada berkumpul di depan warkop, mereka masing-masing lagi mengatur pernafasannya, seusai berlari bak maraton. Alex meninju pundak Raka dengan nafas yang masih ngos-ngosan, mengakibatkan sang empunya badan agak terdorong sedikit ke samping.

"Heh, huh, gara-gara kamu sih ah!"

Raka mengelap peluh yang meluncur di pelipis dengan pergelangan tangannya, menatap satu persatu temannya yang lagi melabuhkan pandang tajam ke arahnya. Raka menyengir kuda menanggapi. "Hehe, sorry." Jari telunjuk dan jari tengahnya terangkat bersamaan, membentuk sebuah huruf V vitamin.

Mereka berempat hanya geleng-geleng kepala sebentar, lalu saling bertatap satu sama lain, hingga mereka tertawa lepas.

"Sudahlah, oh ya kalian berempat jangan lupa datang ya malam ini habis maghrib ke rumah ku," ujar Jordan memulai topik pembicaraan.

Raka mengangkat salah satu alis. "Ngapain?"

'Plak!

Tanpa perasaan, Alex menampar pipi Raka, ia benar-benar gemas dengan salah satu sahabatnya itu. Yang ditampar mengerucutkan bibir. "Ih sakit tau!"

"Bodo!"

"Sialan kamu!"

"Bodo!"

Jordan, Zein, dan juga Silla pada menepuk jidatnya masing-masing sekejap. Sampai Silla angkat suara, menengahi pertengkaran kecil diantara keduanya. "Eh sudahlah ya ampun! Kamu juga Raka, masa udah lupa sih sama ulang tahunnya Jordan malam ini? Padahal Jordan ngasih taunya kemarin, bukan tahun lalu. Hadeh, masih mudah udah pikun," sindirnya, dengan memutar kedua bola mata jenuh.

Jordan ikut menimpali. "Huh, bangke kamu Raka!"

"Ya maaf, iya dah nanti aku datang. Em, btw kamu ajak Satwa juga nggak?"

"Ya enggak lah, ya 'kan Jor?" Sebelum Jordan menjawab, Zein terlebih dahulu membalas pertanyaan tadi.

"Kok kamu gitu sih Zein? Ya aku undang lah, masa sekelas aku undang, cuma dia yang enggak? Aku orangnya nggak pilih kasih tau, ya walaupun dia murid baru sih. Tapi apa salahnya diundang juga? Lagian aku juga udah kasih tau kok alamat rumahku."

"Ngapain sih kamu undang dia? Dia itu orangnya sombong, dan sekarang aku nanya sama kamu, waktu kamu ngundang dia, apa katanya?"

Pertanyaan Zein barusan tidak mendapatkan tanggapan dari pihak yang ditanyai.

"Nah, sudah ketebak jawabannya. Pasti tuh anak cuma diam doang, nggak peduli. Halah, buang-buang waktu ngomong sama dia. Ngomong sama dia itu sama aja kayak kita chat ke nomor sendiri, nggak dibalas-balas!" ucapnya dengan intonasi bicara agak menaik. Dirinya tidak suka jika membahas soal teman baru dikelasnya.

Setelah mendengarkan, Raka buru-buru menyambarnya. "Heh Zein, jaga omongan kamu. Dia itu tidak seperti yang kamu pikirkan, Satwa itu aslinya baik. Dia pernah nolongin aku lho, jangan menilai penampilan orang dari luarnya aja."

"Ck! Tau ah!" Tidak mau berdebat lagi, Zein langsung beranjak pergi sendirian. Meninggalkan ke empat sahabatnya yang menatap dirinya dari kejauhan, tanpa ada satupun yang menghentikan langkahnya.

"Aku nggak ikutan!" Begitupun juga dengan Zein, Silla ikut-ikutan pergi, setelah mengangkat kedua tangannya sebentar.

Sehingga hanya menyisakan ketiga bocah laki-laki itu. "Hm, nggak usah dipikirin. Ntar juga baikan sendiri kok, lagian juga, aku setuju sama kamu Raka. Kita nggak bisa menilai orang dari luarnya saja," tutur Alex  yang di angguki Jordan setuju.

Raka tersenyum simpul mendengarnya. Setelahnya, mereka merangkul satu sama lain. Pergi dari situ, untuk pulang ke rumah masing-masing.

Bersambung ...

Married With A Ceo [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang