🦋Siapa aku?🦋

106 15 2
                                    

"JANGAN MENDEKAT SIALAN!"

"Mau kabur sayang? Kasian nggak bisa keluar. Mau dibukain pintunya?" Seperti orang stres, Jack dari tadi tertawa terbahak-bahak, sesekali juga mengamuk. Melempar barang-barang yang ada disitu. Sehingga ruangan tanpa jendela ataupun ventilasi itu yang awalnya berantakan makin tambah berantakan. Layaknya tempat tak pernah dikunjungi beratus-ratus tahun lamanya, ditambah lagi ada terdapat beberapa sarang laba-laba di setiap sudut ruangan.

Lampu sebagai penerang juga mulai meredup, mau mati. Arin mendongakkan kepalanya ke atas, menatap bohlam lampu berkedip-kedip, dengan cucuran keringat di lehernya. Kembali ia menatap Jack yang berdiri tepat dibawah lampu kedap-kedip itu, sambil masih memegang pisau. Seringai senyum menghiasi bibirnya. Hal itu berhasil memompa detak jantung Arin makin berdegup sangat cepat. Seakan-akan, jantungnya mau jatuh dari tempatnya. Nyalinya kini kian menciut, tatkala Jack mengarahkan pisau ke arahnya.

"Mati."

Arin membeku di tempat, menyaksikan pemandangan mengerikan di depannya. Dimana Jack menyayat pergelangan tangannya, sembari tertawa jahat. Tetesan darah berjatuhan ke lantai, Arin menontonnya begitu lemas. Sampai-sampai kedua kakinya terasa kelu untuk digerakkan. Aksi Jack berhasil membuat tubuh Arin gemetar hebat. Tak henti-hentinya wanita itu berdoa minta pertolongan kepada sang penguasa bumi ini di dalam hati.

'Ya Tuhan, tolong bantulah hambamu ini dari seseorang yang berniat mencelakakan hamba. Aamiin,' batinnya, sembari menutup mata.

Jack memasang ekspresi dingin, dan datar. Memandangi Arin yang masih menutup matanya, dimana mulutnya komat-kamit membaca doa pastinya.  Jack melempar pisaunya asal, alhasil, ulahnya itu menimbulkan bunyi. Arin langsung membuka matanya, melihat Jack yang berjalan kecil kearahnya.

"MENJAUH KU BILANG!"

Kini Jack sudah berhadapan dekat dengannya. Arin makin keras berteriak meminta pertolongan, ia sudah pasrah. Tak bisa melakukan apa-apa, senjata untuk melindungi diri pun juga tidak ada. Ia sadar bahwa lawannya sangat kuat, dibanding dirinya yang hanya seorang wanita tak berdaya. Jack berjalan melewatinya, ia menatap kunci ditangannya sebentar, sembari menghempas nafas berat.

"Aku akan mengeluarkanmu, jika kamu ingin melaporkanku ke polisi, silahkan. Aku pun sebenarnya tidak ingin melakukan ini." Arin tertegun mendengarnya, Jack memutar badannya. Memandang Arin tanpa senyuman. Kali ini, sikap lelaki itu berubah jadi seratus derajat. Mengolah Arin tak cemas lagi.

"A-apa maksudmu?" tanyanya terbata-bata. Ia pikir, siapa tahu lelaki yang belum diketahui namanya itu tengah menyusun rencana. Lebih tepatnya, rencana lebih bahaya ketimbang tadi.

Jack membuang pandang, bibirnya nampak bergetar, membuat salah satu alis Arin terangkat. Ia makin dibuat bingung, ketika lelaki tersebut menangis tanpa suara. "Kamu tidak akan paham, pergilah sebelum aku berubah pikiran." Jack membuka pintu itu, dan membukanya lebar. Di luar sana, terdapat banyak pohon-pohon besar tumbuh. Rerumputan panjang mengelilingi pepohonan tersebut.

"Kamu tinggal belok ke kanan, disitu ada jalan setapak. Cukup jalan lurus, maka kamu sampai di jalan raya. Dan ini ponselmu. Tenang saja, disini sinyalnya bagus." Jack meraih tangan Arin, yang mana wanita itu melongo di tempat, tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya. Jack merogoh sesuatu di kantong celananya. Tidak lain ialah, gawai kepunyaan Arin seorang. Kemudian ia meletakan benda itu ke pemilik aslinya.

Jack mundur perlahan, sambil melepas topi hitamnya. Rambut lebat kehitaman berkilau itu membuat Arin membeku. Pasalnya, lelaki bersamanya kini sangatlah tampan. "Tunggu apa lagi, pergilah." Jack berbalik badan, dan duduk di kursi kayu. Membelakangi Arin yang masih terdiam di depan pintu. Sesekali ia melirik ke arah luar dan Jack bergantian.

Tadi ia berkeinginan sangat untuk lekas keluar. Setelah dibebaskan tanpa alasan, mengolahnya terasa berat untuk melangkah pergi. Ia menghela nafas kecil, lalu berjalan pelan menuju Jack yang lagi menundukkan kepala ke bawah. Dari bawah, Jack melihat kaki Arin yang tengah memakai high heels.

"Kenapa masih ada disini? Bukannya tadi mau keluar?"

"Aku cuma mau bertanya, siapa yang menyuruhmu melakukan ini?"

Jack mendongakkan kepalanya ke atas sekejap, memandang Arin lekat, terus tertunduk kembali. "Barbiesya, aku yakin kamu pasti mengenalnya."

Arin menganga lebar, ia tak yakin dengan apa yang Jack katakan barusan. "Tunggu, aku butuh penjelasanmu sedetail mungkin. Dan jangan berbohong sedikitpun, katakan kepadaku seyuyur-yuyurnya!"

Jack bangkit dari duduknya. "Sejujurnya!" ulangnya, memperbaiki kata yang Arin lontarkan.

"Nah iya itu maksudnya."

"Tuh kamu lihat?" Arin mengikuti arah jari telunjuk Jack yang mengarah ke sesuatu.

Arin melihat ada secarik kertas terbalik, segera ia berjongkok dan mengambilnya. Di kipaskan dulu kertas penuh debu itu, disitu terpampang jelas gambar anime telanjang yang mana bibirnya keluar manja, dalam posisi ngangkang. Arin melongo dibuatnya, kertas yang dipegangnya dirampas oleh Jack. Pipi lelaki itu bersemu merah. Ia menjentil jidat Arin, mengakibatkan si empunya jidat meringis. 

"Bukan yang ini bodoh, tapi itu!" tunjuknya lagi, ke arah dimana letak kamera yang rusak. Lensanya juga copot dari wadahnya.

"Kamera? Aku tidak mengerti! Dan siapa kamu? Aku ini juga ada dimana? Aku ini siapa? Namaku siapa? Aku orang mana?" Seperti orang linglung, Arin menggaruk tengkuknya. Matanya liar, menyisir ruangan dengan perasaan tenang daripada tadi.

Jack menepuk jidatnya pelan. 'Ternyata aku salah menilai ini cewek,' batinnya, sembari menggelengkan kepala.

"Sini duduk, akan ku ceritakan semuanya." Entah sejak kapan, tau-taunya Jack sudah duduk santai di sofa usang. Ia menepuk-nepuk sofa, menyuruh agar Arin duduk di samping dirinya. Mau tidak mau, Arin menurut saja. Lagipula, ia perlu mendapatkan informasi secepatnya. Setelah duduk, Jack langsung membuka pembicaraan serius.

"Jadi ..."

Jadi apa?

Jadian sama dia :v

Bersambung ...

Married With A Ceo [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang