13

4.7K 603 94
                                        

"Jadi, kau akan membatalkannya?" Hyunjin meletakan hot moccacino yang baru saja ia teguk sedikit pada saucer keramik. Membuka pembahasan mengenai pendonor jantung untuk Seojoon yang akan dibatalkan Jiyeon.

Tidak langsung menjawab, Jiyeon memainkan telunjuknya pada bibir gelas moccacino yang masih mengepulkan uap panas. "Aku rasa ... aku menyerah membujuknya." Iris pucat itu terangkat naik setelah sedikit lama terpaku pada minuman yang belum disentuhnya.

Hyunjin menghela nafas dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi cafe. Setengah jam yang lalu, pria itu menghubungi Jiyeon dan meminta gadis itu menemuinya di cafe ini. Mengisi waktu senggang dan tentu saja membahas pendonor jantung Seojoon.

"Kita masih punya sisa waktu untuk kembali meyakinkan ayahmu, Ji."

"Kapan? Kalau ayah sudah sekarat? Atau sudah menjadi abu dalam guci?" Jiyeon menggegat bibir bawahnya. Nyaris melepaskan teriakan frustasi setiap kali topik ini terpaksa harus dihadapi. "Dia keras kepala, apa gunanya aku mengumpulkan uang sebenayak ini jika ayah tetap saja menolak untuk dioperasi?"

"Mungkin ayahmu punya alasan lain, Ji."

"Apapun itu, dia tetap memilih mempersingkat umurnya dari pada berusaha hidup lebih lama bersamaku," sela Jiyeon dingin.

"Sampaikan permintaan maafku untuk pendonor itu. Aku akan tetap membayar seperempat dari harga yang mereka minta," tutur Jiyeon melempar pandangan keluar jendela. Situasi yang tidak akan pernah meninggalkannya adalah kecemasan bahwa ia bisa kehilangan sang ayah kapan saja.

"Kau tidak perlu melakukan itu, mereka bisa mencari orang lain yang membutuhkan pendonor."

Jiyeon menggeleng pelan tanpa melepaskan atensinya pada jalanan yang basah di luar sana. "Aku akan tetap membayar, mereka sudah berbaik hati merelakan satu jantung untuk ayah. Meski ayah tidak akan menerimanya."

Maka, Hyunjin hanya bisa diam jika Jiyeon sudah membuat keputusan sendiri. Yang tidak pernah di ketahui orang banyak adalah, Jiyeon yang akan menghamburkan semua uang yang dia miliki setelah merasa terbantu. Gadis itu memiliki kelonggaran pada hati nuraninya untuk orang yang bahkan tidak dikenalnya.



••



Lepas dari percakapannya di cafe bersama Hyunjin satu jam yang lalu, Jiyeon memilih menyusul ayahnya ke toko buku. Setelah diantar Hyunjin karena mobil Jiyeon masih berada di rumah Yoongi.

"Tumben sekali kau tidak bersama Taehyung? Kemana pemuda itu?" Seojoon meletakkan secangkir teh dan sepiring biskuit yang selalu ia simpan sebagai cemilan saat di toko buku. Sedikit menyingkirkan beberapa buku untuk memperluas ruang pada mejanya.

"Taehyung sibuk, Ayah."

"Aku lega kali ini kau tidak menolak pria yang mencoba mendekatimu. Terlebih pria baik seperti Taehyung," jelas Seojoon mendudukkan diri pada kursi kayu yang beralaskan bantalan busa.

Jiyeon meletakkan kembali buku yang baru ia baca beberapa lembar pada rak pertama. Berjalan menghampiri sang ayah dan ikut mendudukkan dirinya.

"Ayah percaya sekali jika Taehyung itu pria baik," ucap Jiyeon mengambil satu biskuit untuk digigitnya.

"Aku bisa merasakannya, Sayang."

Jiyeon diam, tidak memprotes apa yang dilontarkan Seojoon tentang Taehyung.  Karena hatinya membenarkan jika Taehyung memang pria baik, sangat baik malah. Hingga Jiyeon merasa kalau Taehyung terlalu baik untuknya. Kenyataannya, Taehyung bisa mendapatkan wanita yang lebih baik darinya. Juga dari keluarga yang setara. Bukan memilih bersama Jiyeon dengan berbagai masalah yang gadis itu miliki.

Vespertine✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang