15

4.4K 601 39
                                    

"Gila! Bayarannya gila, Ji!" Yoongi begitu histeris setelah menerima panggilan dari sutradara ternama. Ponsel masih berada dalam genggamannya, langkah kaki itu dipercepat mendahului Jiyeon dan menghalangi gadis itu yang baru saja akan membuka pintu mobil.

"Kau tidak mau mempertimbangkannya?" Pria pucat itu terlihat sekali berharap. Bagaimana tidak? Tawaran sebuah film dengan bayaran diluar logika membuat Yoongi mengulang kata-kata yang sama, dan itu sudah berlangsung selama setengah jam. Tepat saat Jiyeon mengemasi beberapa pakaian dalam untuk ayahnya di rumah sakit. Juga jaket dan dua buah buku yang Seojoon minta.

"Aku tidak tertarik untuk itu. Dan lagi pula, tidak ada gunanya aku memiliki uang segunung jika ayahku sendiri bersikeras untuk tidak dioperasi."

Sejenak, Yoongi terdiam dan menarik nafas dalam. Sepasang mata kecil itu kembali terbuka dan menatap Jiyeon setelah tadi terpejam untuk beberapa detik. "Pertimbangkanlah," lirihnya.

Dan setelah itu, mereka menghentikan konversasi. Masuk ke dalam mobil untuk menuju rumah sakit.

Pikiran Jiyeon berkelana jauh seiring laju mobil yang begitu pelan saat jalanan mendadak padat pukul sembilan pagi ini. Tentang ucapan ayahnya kemarin yang masih meninggalkan sesak luar biasa dalam dadanya. Ingin rasanya berteriak untuk melepaskan ikatan kuat yang terasa membelit. Hingga setiap tarikan nafas Jiyeon begitu berat dan tidak sedikit pun rasa sesak itu berkurang kendati sudah berkali-kali Jiyeon menghela nafas.

Juga pemikiran tentang tawaran film yang ia dapat, bayaran gila seperti ungkapan Yoongi tidak lagi menarik minatnya kala uang tidak begitu berarti saat ini. Respon Majalah Taehyung begitu positif untuk cetakan yang baru saja beredar. Semua menyambut konsep baru yang diusung Taehyung untuk majalahnya. Membawa Mingyu sebagai patner kerja Jiyeon dan gadis itu tidak menyangka jika penggemar pria itu pun antusias menyambutnya.

Menyandarkan tubuh lelahnya, Jiyeon menutup kelopak matanya. Biarkan ia istirahat dan hilang untuk sejenak sebelum kakinya menginjak rumah sakit dan mengenakan kembali topeng terbaiknya di depan sang ayah.






••






"Mana ayah?" tanya Jiyeon begitu masuk ke dalam ruang inap sang ayah tidak menemukan Seojoon berbaring di ranjangnya. Hanya ada Hoseok yang baru saja selesai dengan kupasan apelnya.

"Baru saja pergi bersama dokter Kim, " balasnya berdiri dan berjalan ke toilet untuk mencuci tangannya.

Jiyeon meletakan tas berisi pakaian dalam dan jaket Seojoon di atas sofa, mengambil dua buku yang ia bawa tadi dan meletakkannya di atas meja di samping ranjang.

"Apa ayah sudah memberitahumu kalau dia ingin memperluas toko buku?"

Jiyeon duduk di atas ranjang dan menatap Hoseok yang mengeringkan tangannya dengan handuk kecil. "Kapan ayah bilang begitu?"

"Kurasa dua bulan yang lalu, pemilik toko sebelah menjual tokonya. Ayah berniat membelinya, tapi pemilik toko tersebut membuka harga cukup mahal." Pria itu menghempaskan tubuhnya pada sofa dan menggigit potongan apel yang tadi sudah dikupasnya. "Menurutku wajar jika harganya mahal, tokonya terletak di persimpangan jalan. Dan pemilik itu juga menjual  lantai duanya."

"Tidak mungkin dia mau membicarakan ini denganku," balas Jiyeon dengan pandangan turun pada ujung sepatunya yang mencacah lantai marmer.

Seojoon tidak mungkin memberitahu Jiyeon jika pria itu kekurangan dana untuk memperluas toko bukunya. Jiyeon tahu jika ayahnya sangat mencintai toko buku yang ia bangun susah payah. Toko buku yang menjadi sumber penghasilan mereka dari dulu. Juga sumber untuk biaya sekolah Jiyeon. Mereka hidup sederhana dan bahagia, sebelum dokter memvonis penyakit jantung ayah dan Youmi yang berubah drastis. Tawa Jiyeon direnggut paksa saat gadis itu masih remaja.

Vespertine✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang