01

14.1K 861 83
                                    

Pekikan nyaring disertai beberapa umpatan kembali mengisi rungu Jiyeon yang terlanjur kebal.

Semua kalimat kasar bertubi-tubi terdengar jelas meski pintu kayu dengan dinding sudah berusaha meredamnya. Kaki gadis itu tetap melangkah, memasuki kamar miliknya. Menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

Cahaya lampu yang temaram langsung menyambut tubuhnya yang lelah sepulang bekerja. Jiyeon memilih menunda mandi untuk sejenak. Membaringkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar.

Lengkingan suara wanita itu sayup-sayup masih terdengar. Jiyeon tidak bisa menyebut wanita itu sebagai ibu. Tepatnya Jiyeon tidak mau.

Siapa yang mau mengakui ibunya jika kerjaan ibunya hanya memaki suaminya dan terang-terangan membawa laki-laki lain tidur di rumahnya.

Terserahlah, anggap saja Jiyeon anak durhaka atau apapun itu. Ia sudah cukup dengan kata peduli. Karena baginya, wanita itu telah lama mati. Jiyeon bahkan pernah meminta agar Tuhan segera menjemputnya. Walaupun gadis itu tahu Tuhan tidak akan pernah mengambulkan doa dari orang sepertinya.

"Ji? Sudah pulang? Mau Ayah siapkan makan malam?"

Suara sang ayah diiringi ketukan pada pintu kembali menyadarkannya. Jiyeon menegakkan tubuh dan berjalan untuk membukakan pintu.

Wajah lelah ayahnya menyapa saat pintu dibuka. Bibirnya tersenyum meski cahaya matanya sudah terlalu lama redup. Jiyeon tidak lagi menemukan binar bahagia di manik ayahnya.

"Kau pasti lelah, 'kan? Mandilah, ayah akan siapkan makan malam untukmu."

Gadis itu mengangguk menanggapi, ayahnya berbalik dan Jiyeon kembali menutup pintu. Membersihkan tubuhnya sesuai dengan titahan ayahnya.

Seusai mandi, gadis itu segera keluar dari kamar. Park Seojoon menyambut anak gadisnya dengan senyuman dan duduk tenang di balik meja makan. Sejujurnya Jiyeon tidak nafsu makan, tapi Jiyeon tahu Seojoon sengaja menunggunya pulang kerja demi makan bersama.

Jiyeon menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya. Mereka makan dengan tenang. Jiyeon yang mencoba menelan semuanya dan Seojoon yang terlihat lahap dengan makan malamnya.

Gadis itu tahu, ayahnya juga kehilangan selera makan setelah bertengkar hebat dengan wanita tadi. Entah sampai kapan ayahnya akan mempertahankan istri seperti itu.

"Jiyeon, mau ayah belikan apa untuk hadiah ulang tahunmu?" Yang lebih tua membuka suara setelah menyelesaikan makan malamnya.

Jiyeon tersenyum melihat ayahnya yang masih saja antusias menyambut ulang tahunnya meski Jiyeon sendiri bukan lagi diusia yang butuh sebuah kado di hari ulang tahun.

"Ulang tahunku masih satu bulan lagi, Ayah. Dan aku juga tidak butuh hadiah lagi. Aku sudah dewasa," jawabnya yang mendapat kekehan dari bibir ayahnya.

"Siapa bilang kau sudah dewasa? Kau masih putri kecil Ayah."

Jiyeon ikut tersenyum melihat betapa hangatnya pancaran mata ayah yang selalu bisa menyelimuti hati Jiyeon yang terlanjur beku layaknya Antartika.

Kalimat Seojoon memang benar adanya, di mata beningnya Jiyeon tidak pernah menjadi gadis dewasa. Caranya memperlakukan gadis itu sama seperti ayah yang selalu menjaga dan mendidik putri kesayangannya. Baginya, Park Jiyeon putri kecilnya. Bukan Park Jiyeon gadis 23 tahun.

Vespertine✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang